I want to live my life to the absolute fullest

To open my eyes to be all I can be

To travel roads not taken, to meet faces unknown

To feel the wind, to touch the stars

I promise to discover myself

To stand tall with greatness

To chase down and catch every dream

LIFE IS AN ADVENTURE

Minggu, 30 Maret 2014

Baru Satu Episode yang telah Selesai

Kemarin, 24 Maret, pertama kali kujalani tugasku sebagai dokter muda, setelah sebelumnya 7 Maret lalu diikrarkan janji DM.
Ma, anakmu telah menjadi dokter muda. Apa kau senang, Ma?
Kau yang dulu mengharapkanku jadi dokter. Dan kini masih kujalani apa yang kau ingini.
Entah sampai kapan.
Lihat, Ma, aku sayang Mama, kan?!
Hari ini, Ma, 25 Maret, hari Selasa. Aku akan melaksanakan wisuda, Ma, di kampus berdanau itu.
Anakmu akan jadi sarjana, Ma. Pake toga! Toga kedua yang kupakai setelah wisuda di SD dulu.
Untuk siapa aku disini, Ma? Untukmu Bunda yang kucintai.
Aku sarjana, Ma. Baru S-1: S.Ked. Dan di wisuda nanti, akan ada papa seorang yang hadir. Mbak dan Mas di rumah saja. Adik Alya masih berusia 26 hari  hari ini tepat jam 2.49 tadi. Belum sebulan tak boleh berpergian jauh, apalagi hanya untuk datang ke wisudaku.
Sebenarnya, hari ini sama saja dengan hari lainnya. Wisuda ini tak berarti apa-apa. Hanya menunjukkan aku lho sudah S-1. Toh saya juga masih belum bebas, harus menjalani profesi selama 2 tahun.
Barangkali karena mereka pikir diri ini kasihan sekali, Budhe turut campur dalam acara seremonial bernama wisuda ini. Keluarga beliau akan hadir. Bahkan turut serta mempersiapkan semuanya: baju kebaya, kerudung wisuda, sepatu yang akan kupakai, bahkan nyariin salon rias pada H-3. Sesuatu sekali. Keluarga yang satu itu memang "selalu pedul". Kurang beberapa jam lagi aku akan berias dan berangkat ke lokasi.
Ciel, 25 Maret; 02.58 WIB

Sudah 5 hari sejak acara wisuda berlalu. Rasanya sepi tanpa Mbak, Mas dan Adik. Tapi cukuplah keluarga Budhe meramaikan. Saya yang tak terbiasa berias diri sangat malu ketika datang di acara itu. Sangat malu karena make up yang berebih-lebihan. Seperti bukan diri yang biasanya. Tawaran foto studio kutolak semua karena tak percaya diri dengan penampilan sendiri. Ah, acara seremonial itu akhirnya terlewati juga. 
Ternyata aku tak dilupakan. Teman-teman KKN (yang kisahnya belum sempat kutulis dalam blog ini) datang padaku mengucapkan selamat kelulusan. Mereka membawakan karikatur diriku yang memakai baju dan topi toga. Indah sekali perbuatan mereka. Mereka adalah teman yang kutemukan dalam 23 hari masa KKN dan begitu keren mengisi pertemanan itu karenanya. Senang saja aku yang biasa sendirian ini dikunjungi teman-teman dunia nyata. Justru ketika sahabat-sahabatku kebanyakan ada di dunia maya atau di negeri yang jauh dari sini. Selain mereka teman-teman kos juga memberikan bunga, untuk pertama kali ku mendapat bunga. Terima kasih saja untuk kalian.
Sungguh tak ada yang istimewa dari hari itu. Setelahnya pun hanya diisi dengan makan bersama ayah dan mengantarkan ayah yang berpamitan pulang. Selesai sudah dan berasa lelah sekali.
Orang bilang wisuda hanya datang sekali dan merupakan acara yang tak bisa disia-siakan begitu saja. Namun bagiku acara ini bukan apa-apa. Gelar yang kudapatkan juga bukan sesuatu yang kuharapkan dan kuusahakan payah-payah. Dan semua belum selesai, masih ada 2 tahun lagi yang akan membikin siksa di hati kumat-kumatan.
Ciel, 29 Maret; 04.19 WIB

Dan pikiran ini masih sering menggugat hati, dan hati mencaci diri. Mengapa tak kuasa mengubah nasib sendiri menjadi yang dikehendaki. Impian untuk jadi orang bebas sementara terenggut disini. Aku akan dan sedang menjadi buruh kesehatan, tukang yang "mengobati" manusia. Semua telah ditentukan oleh Kebijakan dan Kementerian. Diikat begitu rupa. Tak berkutik dalam sistem.
Andai aku mampu membebaskan diri dari tatap orang-orang tentang profesi ini. Bukan! Bukan profesi ini buruk. Profesi ini sungguh mulia, begitu mulia bagi orang-orang yang rela berkorban, yang ingin mengabdikan dirinya, umurnya, kebebasannya, demi nusa dan bangsanya. Demi manusia sesamanya. Tapi sungguh aku bukan orang semacam itu. Aku menghendaki kebebasan. Tak terikat oleh sistem manapun. Aku hanya ingin memperjuangkan apa yang hati ini katakan. Sungguh kemuliaan itu tak ada dalam karakterku. Pertentangan ini mengusik naluriku untuk memberontak. Tapi seperti yang kukatakan, diri yang pengecut ini tak bisa merubah apapun. Yang ada hanya pikiran protes yang menggerogoti jiwa pemimpi ini. Menjadi realis seperti para dokter itu sama sekali tak pernah kubayangkan. 
Aku akan berubah tertempa sistem dan peraturan yang ada. Barangkali. Yang kutahu aku hanya berubah jadi pribadi pesimis dan putus asa selama 3,5 tahun preklinik yang ada. Semakin ku takut mempercayakan apa yang kupikirkan. Takut salah, takut dihujat. Jika bukan karena beberapa orang aku mungkin telah gila dan bertindak nekad. Orang-orang seperti aku hanya membutuhkan harapan akan hari esok yang berubah menjadi lebih indah dan nyaman. Bukan hari esok yang telah ditentukan oleh aturan dan kebijakan. Aku tak keberatan jika yang diberikan kini hanya harapan palsu. Apapun itu yang penting harapan.
Aku yang sejak kecil mengharapkan kedatangan Peter Pan yang membawaku ke Neverland barangkali akan berakhir menjadi impian belaka. Seseorang yang datang menyelamatkanku dari dunia yang bisa membuatku gila ini tak kunjung datang. Diri ini yang tak bisa menyelamatkan diri sendiri, apa si penyelamat itu akan mendatanginya? Aku masih dalam impian itu. Aku masih menunggu orang seperti Peter itu benar-benar akan datang. Jika semua ini akan berakhir menjadi impian belaka, biarlah, impian ini terlalu indah: Neverland itu.
Ciel, 29 Maret; 04.34

Rabu, 19 Maret 2014

Bayang Semu

Aku telah kehilangan matahari, rembulan, dan segala keindahan langit.
Dan sayap kehidupan itu berguguran.
Patah satu demi satu.
Kau berdo'a agar ku dapat penggantinya.
Aku yang telah buta tak bisa ku temukan.
Adakah dia jauh atau di depan mata.
Hai semesta! Bangunkan aku dari kemalangan berlarut.
Jika tak kau ajarkan aku arti bahagia apa bisa manusia bahagia.
Apalagi yang harus ku raih.
Kemana lagi ku harus menuju.
Pertanyaan yang tak pernah terputus.
Manusia sepertiku.
Hanya terkapar dalam bayang semu.

Rapuh

Terkadang kudapati hanya perasaanku yang bersuara.
Hatiku diam. Pikiran dan mulut apalagi.
Siapa lagi yang bisa mendengar rintihannya? Kecuali diri pribadi.

Aku selalu mengharapkan ada yang datang.
Lantas membawaku pergi, dari dunia yang tak kuharapkan.
Ku kan bilang kau penyelamat, namun barangkali wujudmu hanya ada pada angan, fiktif belaka.
Tak ada yang mampu mengentasku.
Aku sendiri pun tidak.
Jika bukan karena janji tak tertulis.
Sudah terlalu sesak rasa di dada.
Tak kuasa lagi bahkan untuk mengadu.

Aku memang sendiri.
Jiwa ini sudah pernah terluka oleh nasib.
Begitu rapuh dan mudah patah.
Siapa pula yang menguatkan.
Semua terjalani dengan terpaksa.

Gelap.
Dalam bayangan, cahaya itu terlalu menyilaukan.
Tak ada yang jelas.
Mata ini telah rabun.
Tapi ku harap ku masih dapat melihatnya barang setitik.

Kebebasan

Menjadi manusia merdeka.
Barangkali itulah yang kuimpikan sejak dulu.
Merdeka!
Satu kata sakral yang tak hanya berarti kata.
Sejak kecil aku paham bahwa kata ini istimewa.

Menjadi manusia bebas.
Sebebas burung yang terbang di angkasa.
Mengikuti kehendak jiwa tanpa terikat oleh bumi.
Meninggi menyentuh batas-batas atmosfer.
Menerjang angin, panas, hujan.
Hanya demi satu kata: bebas.

Aku bermimpi menjadi diriku sendiri.
Memenuhi takdir sekena kaki tangan pergi.
Menuruti benak hati ke arah panggilan jiwa tertuju.
Tapi itu hanya mimpi yang ada ketika kanak-kanak dulu.

Sedari dulu ku sudah tahu bahwa manusia penuh ikatan.
Seperti budak pada majikannya, anak pada ibu-bapaknya.
Barangkali harap terlalu tinggi.
Berusaha mengurai ikatan pun tak mampu.
Hanya makin menjerat saja.

Apa itu dunia? Dunia yang kalian bilang indah. Itu bukan duniaku.
Dunia yang kukata damai ada di tempat di ujung bingkai dunia.
Apa salah mengundi nasib ikuti seruan hati.
Barangkali sesederhana itu arti kata bebas.
Mengisi hidup dengan menentukan takdir sendiri.
Memikul resikonya. Asal dari lubuk hati.
Mendamai dengan dunia meski semesta memaki.

Tak bisa tidak, bagi batin yang tersiksa, merdeka hanya utopia.
Tak ingin kurenggut ini pada penerusku kelak.
Ku ingin mereka membentangkan sayapnya lepas-lepas.
Jika memang ini yang terjadi pada diriku, biarlah!
Namun kau harus berjanji agar menjadi dirimu sendiri.
Raga, jiwa, pikiran dan hati.
Hidup dalam kebebasan!

-Kepada Altair Hurriyah, yang mungkin belum ada-
"Bebaslah sebebas elang di angkasa"

Sabtu, 15 Maret 2014

Pita Merah

Pita Merah adalah suatu janji tak tertulis
bahwa kau akan datang padaku
kenyataan yang tersamarkan
bahwa aku tak berdiri sendiri
Terikat di suatu dimensi Sang Pemegang Janji
yang membawa ujung lain si Pita Merah
Barangkali dia mencari
Bisa juga tak sengaja mendekat
Kadang kala sungguh terasa bosan
Termenung dalam kata penantian
Dia yang dari antah berantah
Pun tak mengenal siapa lawannya
Pita Merah menyatukan
Pita Merah mempertemukan
Hingga suatu hari nanti Pita Merah itu terpilin
dan bersatu membentuk ikatan

Sabtu, 08 Maret 2014

Harapan

(1)
Kaleidoskop itu, apa masih penting
Semua hal yang telah terjadi. Kesenangan. Kesedihan.
Yang tersisa dari kenangan hanya rasa.
Apa itu indah atau tidak.

Menjadi bahagia adalah tujuan setiap orang.
Apa yang membuatmu bahagia?

Yang bisa kulakukan adalah mencoba menemukannya.
Keping jawaban yang hilang.
Barangkali jawabannya sudah jelas di depan mata.
Tapi aku tak bisa melihatnya.
Selalu mencari jawaban lain, pembenar keinginan.
Harapan.

(2)
Apa itu harapan? Harapan itu apa?
Yang membuat manusia terus berdiri lagi dan lagi.
Alasan seseorang hidup.

Aku tak melihat harapan. Mengapa aku masih disini.

Kau bilang aku bisa membuatnya mengalir.
Menyelaras dengan waktu. Dalam susunan kronologi masa depan.

Aku hanya tak boleh banyak berpikir.
Itu katamu.

"Mengagumkan saja belum cukup untuk pantas dikagumi". 
-Ciel

Lembaran Hitam

Orang takut mati karena takut dilupakan.
Hanya dengan kematian manusia terpisah dari kehidupan.
Lantas siapa yang mengenang? Apa yang terkenang?
Seseorang akan terhapus begitu saja, hilang dari sejarah.
Dan orang yang ditinggalkan memang sengaja ingin melupakan, termasuk  meninggalkan masa lalunya. Alih-alih menatap maju.
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." 
-- Pramoedya Ananta Toer
 Apalah arti manusia dengan hanya segelintir tahun masa hidupnya.
Lantas setelah pergi dia akan terlupa, tak terkenang, hilang, lantas lenyap bersama waktu.
Aku tahu kau tak kan selalu ada..
Seperti hujan kubutuh tanda agar kau datang..
Seperti mendung dan petir yang menggelegar..
Memilukan namun mesti kau dengar..
Kukata "Kau tak kan mengerti"
Dan memang tidak akan terkecuali ada pengertian
Jiwa bak tanah gersang memang butuh perhatian
Lantas kau basuh hati ini dengan air yang menyegarkan
Jika memang hilang suatu hari barangkali kau temukan
"Bersamamu aku menjadi tenang"

Se Titik Kecil

Kau memiliki teman-teman yang baik, yang berpemahaman luas dimana kau bisa bertukar pikiran dan memikirkan hal yang lebih besar.
Aku tak tahu, mungkin Tuhan memang membuatku tak mudah tuk mencapaimu.
Mungkin ini memang perihelion kita..
Kurasa kau bergerak begitu cepat..
Aku ingin menggapai tanganmu, namun aku tak lagi mampu.
Duniamu yang begitu cerah menyilaukanku.
Barangkali akulah yang telah keluar dari orbit.

Apa benar memang tidak ada jalan keluar setelah terjebak dalam lubang hitam?
Seperti mimpi, semua menjadi beku dalam sekejab mata..
Hanya api kecil ini yang kupunya, yang kutemukan bersamamu dalam jurang yang tak berujung..
Menjaganya bersama agar tetap menyala..
Dalam selimut khayalan aku berharap masih bisa menemukan kehangatan.
Dan jika aku adalah angin, dan jika aku adalah burung, dan jika aku adalah matahari..
Namun aku hanyalah manusia

Ciel, November 2013