Barangkali itulah yang kuimpikan sejak dulu.
Merdeka!
Satu kata sakral yang tak hanya berarti kata.
Sejak kecil aku paham bahwa kata ini istimewa.
Menjadi manusia bebas.
Sebebas burung yang terbang di angkasa.
Mengikuti kehendak jiwa tanpa terikat oleh bumi.
Meninggi menyentuh batas-batas atmosfer.
Menerjang angin, panas, hujan.
Hanya demi satu kata: bebas.
Aku bermimpi menjadi diriku sendiri.
Memenuhi takdir sekena kaki tangan pergi.
Menuruti benak hati ke arah panggilan jiwa tertuju.
Tapi itu hanya mimpi yang ada ketika kanak-kanak dulu.
Sedari dulu ku sudah tahu bahwa manusia penuh ikatan.
Seperti budak pada majikannya, anak pada ibu-bapaknya.
Barangkali harap terlalu tinggi.
Berusaha mengurai ikatan pun tak mampu.
Hanya makin menjerat saja.
Apa itu dunia? Dunia yang kalian bilang indah. Itu bukan duniaku.
Dunia yang kukata damai ada di tempat di ujung bingkai dunia.
Apa salah mengundi nasib ikuti seruan hati.
Barangkali sesederhana itu arti kata bebas.
Mengisi hidup dengan menentukan takdir sendiri.
Memikul resikonya. Asal dari lubuk hati.
Mendamai dengan dunia meski semesta memaki.
Tak bisa tidak, bagi batin yang tersiksa, merdeka hanya utopia.
Tak ingin kurenggut ini pada penerusku kelak.
Ku ingin mereka membentangkan sayapnya lepas-lepas.
Jika memang ini yang terjadi pada diriku, biarlah!
Namun kau harus berjanji agar menjadi dirimu sendiri.
Raga, jiwa, pikiran dan hati.
Hidup dalam kebebasan!
-Kepada Altair Hurriyah, yang mungkin belum ada- "Bebaslah sebebas elang di angkasa" |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar