Kisah ini ditulis untuk mendapatkan jawaban. Dikirim ke situs psikologi untuk mendapat bantuan. Jika Anda bisa membantu, kami akan senang.
Saya Silvi, usia 21 tahun, saat
ini sedang menjalani kuliah semester akhir S-1 Pendidikan Dokter di salah satu
PTN di Surabaya. Sejak awal saya sama sekali tidak berminat akan bekerja di
bidang kesehatan atau biologi, saya jauh lebih menyukai sains “benda mati”
seperti astronomi, fisika, atau geografi. Sejak dulu saya sering memimpikan
masa depan yang penuh kebebasan. Saya tak mengejar materi, gengsi, atau
jabatan. Saya memutuskan jika sudah bekerja nanti saya tak ingin menjadi PNS
yang terikat oleh aturan. Saya tidak suka terikat. Ketika kecil saya ingin
menjadi jurnalis, penulis, atau sekedar astronom. Saya pikir bahwa pekerjaan
itu bukanlah sesuatu yang mesti menghasilkan banyak uang, memiliki prestise yang
tinggi, tapi sesuatu yang kita cintai, sebuah passion, atau mungkin jalan
hidup. Atau bisa jadi suatu alat untuk mencapai passion.
Sejak kecil banyak teman yang
bilang bahwa saya berbeda (dalam pemikiran).
Saya sering memilih sesuatu yang tidak banyak orang lakukan. Ketika SD saya hampir selalu juara kelas, namun saya sering kali membencinya. Berbeda dengan diriku, orang tuaku adalah tipe manusia yang mementingkan prestise dan materi. Mereka terkadang menggunakan cara-cara "jalur belakang" untuk mencapai tujuannya. Karena juara kelas banyak teman-teman yang “menyukai”ku. Tapi aku melihat kepentingan dibaliknya. Aku pernah memohon kepada Tuhan tidak apa-apa jika tidak juara kelas asal bisa benar-benar memiliki teman, tak ada yang membenci karena iri, tak ada yang menyukai karena kepentingan. Ketika nilai saya di rapor lebih tinggi dari nilai ujian saya, saya pun memprotes kepada guru saya. Saya lebih suka diperlakukan apa adanya daripada harus mengistimewakan saya dengan memberi nilai yang tidak sesuai kenyataan. Hal itu dianggap teman-teman saya aneh, mereka tak mengerti bahwa saya sering tidak suka menjadi juara kelas. Meskipun saya juga suka dengan pujian. Suatu paradoks dalam sifat saya.
Saya sering memilih sesuatu yang tidak banyak orang lakukan. Ketika SD saya hampir selalu juara kelas, namun saya sering kali membencinya. Berbeda dengan diriku, orang tuaku adalah tipe manusia yang mementingkan prestise dan materi. Mereka terkadang menggunakan cara-cara "jalur belakang" untuk mencapai tujuannya. Karena juara kelas banyak teman-teman yang “menyukai”ku. Tapi aku melihat kepentingan dibaliknya. Aku pernah memohon kepada Tuhan tidak apa-apa jika tidak juara kelas asal bisa benar-benar memiliki teman, tak ada yang membenci karena iri, tak ada yang menyukai karena kepentingan. Ketika nilai saya di rapor lebih tinggi dari nilai ujian saya, saya pun memprotes kepada guru saya. Saya lebih suka diperlakukan apa adanya daripada harus mengistimewakan saya dengan memberi nilai yang tidak sesuai kenyataan. Hal itu dianggap teman-teman saya aneh, mereka tak mengerti bahwa saya sering tidak suka menjadi juara kelas. Meskipun saya juga suka dengan pujian. Suatu paradoks dalam sifat saya.
Sejak kecil saya menyukai
benda-benda yang tak hidup. Berteman dengan tanaman, boneka, atau apapun itu.
Membuat cerita-cerita dalam lamunanku. Puncaknya adalah ketika saya merasa
“tidak punya teman” meski sebenarnya banyak orang disekitarku. Saya mulai
menciptakan teman-teman khayalan yang pada akhirnya saya sadari bahwa mereka
bisa membawaku jauh dari kenyataan. Saya pun menghapus mereka dengan “skenario”
yang cukup indah dan memutuskan untuk belajar berteman dengan teman-teman nyata
dan bisa menghadapi kenyataan. Kebersamaan dengan teman-teman khayalan itu
sekitar setahun. Tapi selepas mereka pergi cukup sulit untuk beradaptasi dengan
keadaan. Tentu ada perasaan kehilangan dan merasa aneh. Baru kelas 2 SMP saya
menceritakan bahwa saya pernah menciptakan teman khayalan pada seseorang.
Syukurlah, saya memiliki banyak teman ketika SMP. Mereka benar-benar mengobati
diriku dan menjadikan aku diriku yang sesungguhnya. Meskipun saya masih sering
merasa kesepian walau diantara teman-teman yang menyenangkan. Masa SMP adalah
masa terbaik dalam hidup saya sejauh ini.
Saya memang susah menyampaikan
perasaan saya. Saya lebih bisa menyalurkannya lewat tulisan baik secara
tersurat namun seringkali tersirat. Banyak yang tidak mengerti “yang
sebenarnya” malah ketika saya mulai menggunakan simbolisme dalam puisi curhatan
saya. Mungkin karena itu saya ingin menjadi jurnalis ataupun penulis. Saya juga
menyukai langit dan sering merasa terhubung dengan alam. Mungkin karena itu
saya ingin menjadi fisikawan atau astronom. Saya juga lebih menyukai ide, teori
daripada praktikum. Saya menyukai filsafat atau pemaknaan akan sesuatu. Banyak
yang tidak mengerti tentang diri saya dan saya pun tak berusaha membuat orang
lain mengerti meski ingin ada seseorang yang bisa mengerti. Bahkan terkadang
saya pun tak begitu mengerti dengan diri saya.
Namun keinginan saya menjadi
jurnalis, penulis, astronom tidak disukai oleh orang tua saya. Alasannya karena
pekerjaan itu terlalu berat/ga pantas bagi seorang WANITA. Pekerjaannya ga
jelas. Gajinya ga jelas. Gender disini begitu penting ternyata. Sudah sering
saya “berdiskusi” yang pada akhirnya berujung perdebatan (karena ayah tipe yang
tak penah mau kalah dengan pendapatnya). Mereka ingin aku mendapat pekerjaan
yang menurut mereka “menjamin masa depan”. Seperti guru, PNS, lulusan STAN,
atau dokter. Dan hebatnya saya tidak menyukai semua itu. (kecuali ide menjadi
guru, saya suka, asal tidak terikat dan tidak harus mendapatkan gelar PNS).
Sampai pada akhirnya tibalah
kelas 3 SMA. Saya bertekad akan mengambil SNMPTN untuk mengejar astronomi di
ITB (karena mahal jika lewat jalur non SNMPTN). Saya sudah merencanakan akan
mengambil FMIPA ITB (astronomi hanya ada di ITB dan kita hanya bisa memilih
fakultas) sebagai pilihan pertama, Psikologi sebagai pilihan kedua, dan Fisika
sebagai pilihan ketiga. Saya tipe planner yang ketika itu sudah memiliki
planning hingga usia saya 45 tahun. Saya berpikir semuanya akan berjalan
lancar. Hingga suatu hari saya tergerak untuk mencoba “cadangan jurusan” dengan
memanfaatkan peringkat kedua di kelas saya lewat PMDK di salah satu PTN.
Sebenarnya dari jurusan IPA saya tidak tertarik sama sekali, saya justru lebih
tertarik dengan jurusan IPSnya. Tapi karena tak mau repot mengambil IPC
akhirnya saya mengambil IPA. Dan setelah berdiskusi dengan orang tua, saya
iseng memilih kedokteran di pilihan pertama saya. Saya yakin bahwa saya tidak
akan diterima sehingga saya melakukannya dengan senang hati. Saya juga
mengajukan PMDK ke salah satu PTN keguruan untuk jurusan Fisika, saya berharap
bisa diterima sebagai “cadangan” sebelum SNMPTN.
Kenyataan setelahnya berkata
lain. Tiga hari setelah tes, pengumuman menyatakan bahwa saya diterima di
jurusan kedokteran. Sedangkan satu bulan kemudian saya menerima kenyataan bahwa
saya tidak diterima di jurusan Fisika. Hal pertama yang saya lakukan ketika
mendengar pengumuman dari teman saya adalah denial,
saya berpikir ini semua hanya joke.
Saya tak siap menghadapi orang tua saya. Saya bingung. Saya ingin menangis.
Saya belum bisa memutuskan apapun. Hari itu seperti awal mimpi buruk bagi saya.
Saya mengonfirmasi kebenaran melalui
pengumuman di internet. Saya tidak percaya. Saya tak pernah merencanakannya.
Saya hanya peringkat dua di kelas. Banyak ucapan selamat berdatangan tapi
hatiku semakin tersiksa. Ucapan terima kasih keluar hanya sebatas kata. Dan
ketika pulang, saya yang merencanakan tidak menceritakan pengumuman ini kepada
orang tua terlebih dahulu mendapati mereka yang bahagia karena tahu dari
telepon teman yang mengucapkan selamat via telepon. Kontan saya bilang pada
mereka sebenarnya saya tidak ingin bilang dulu. Mereka sama sekali tidak
menangkap kesedihanku dan menganggap bahwa apa yang ingin kulakukan adalah
usahaku untuk memberikan “surprise”.
Okay, saya sungguh tak kuasa jika merusak kebahagiaan mereka. Mereka begitu bahagia, begitu bangga, begitu
bersyukur, dan apapun itu meskipun tanpa mereka sadari tepat dihadapan mereka
saya begitu terpukul dan sedih. Dan hebatnya adalah biaya yang harus
dikeluarkan untuk masuk FK sangat sangat murah sekali akan amat jauh lebih
murah dibanding jika saya masuk astronomi ITB plus bagi mereka FK menduduki
kedudukan prestise nomor wahid.
Tiga sampai empat bulan sesudah
pengumuman adalah masa penantian sebelum memasuki perkuliahan. Impian mengikuti
SNMPTN kandas sudah. Saya bahkan tidak memiliki kesanggupan untuk mencoba.
Mereka tak akan mengizinkanku. Semua rencana saya gagal. Saya merasa masa
depanku kacau. Semua yang telah kususun berantakan. Saya berada dalam tahap
“depresi dalam diam”. Artinya, tidak ada
yang tahu jika saya sedang depresi. Awalnya saya sudah mencoba untuk bercerita
pada orang lain tentang perasaan saya tapi percuma. Mereka menghakimi saya
sebagai orang yang tidak bersyukur. Mereka bilang banyak yang menginginkan
posisiku. Jadi kuanggap mereka tak akan pernah mengerti. Prestise atau materi
semua itu tak penting bagiku. Mereka tak akan mengerti. Meski jika alasan
mereka adalah dokter bisa sangat berguna bagi orang lain, mereka juga tak akan
mengerti bahwa saya sama sekali tidak memiliki minat di dunia pelayanan
kesehatan. Mereka tidak mengerti jika saya benci terikat. Jika saya tidak suka
menjadi malaikat yang bernama dokter yang harus selalu tersenyum kepada pasien.
Mereka tak mengerti jika aku punya arogansi untuk mementingkan diriku sendiri,
untuk mewujudkan daftar keinginanku, rencana-rencanaku. Mereka tidak mengerti.
Sampai akhirnya aku bertemu
dengan salah satu teman lamaku, dua bulan setelah pengumumanku dan bahkan
sebelum perkuliahan dimulai, yang memiliki kisah yang hampir sama denganku. Dia
yang sama sepertiku menyukai sains, sama-sama terjebak di kedokteran yang tidak
disukai. Suatu kebetulan yang indah Tuhan memberiku teman seperti dia. Meskipun
tidak di PTN yang sama dia banyak membantuku, entah dia sadar atau tidak,
sehingga saya bisa bertahan sampai sekarang, di semester akhir S1 saya. Aku
tidak tahu apa jadinya aku tanpa bertemu dia waktu itu. Meskipun mengaku
sebagai alone ranger sebenarnya aku sangat tidak tahan sendirian. Dan
keberadaanya dan kisahnya telah menjadi booster bagiku untuk mencoba bertahan
di tempat yang tak kusukai.
Di tahun yang pertama saya melakukan
banyak cara agar saya bisa bertahan. Pertama dengan belajar yang giat agar
tidak perlu ikut semester pendek dan bisa liburan. Kedua dengan ikut
organisasi. Ketiga dengan berusaha melakukan re-planning atas rencana yang
sebelumnya telah kubuang, kuanggap gagal tentang masa depan. Meskipun saya tahu
bahwa tetap akan sulit untuk membuat saya cinta dengan dunia kedokteran ini.
Pada kenyataannya di akhir, saya
tidak bisa terus menerus berlibur ketika musim liburan tiba. Dan organisasi
hanya membuat lelah saja, saya gagal menemukan “teman” di dalamnya. Saya gagal
menemukan komunitas yang kucari. Re-planning saya pun hanya sebatas kata. Hanya
berjalan tak lama. Selanjutnya merasa tidak berguna karena terlalu beratnya
siksaan batin akibat kekecewaan pada diri sendiri dan keadaan yang masih
kuanggap salah.
Di tahun kedua saya mendapati
bahwa saya memiliki tipe kepribadian INFP melalui tes di salah satu situs
personality. Untuk pertama kalinya saya mendapatkan penjelasan mengapa saya
begitu berbeda dengan begitu gamblang. Saya mulai mengerti siapa saya dan
kenyataan bahwa sebenarnya saya tak ingin disini. Saya berusaha “menyibukkan
diri” dengan organisasi.
Puncaknya di akhir tahun kedua.
Untuk kedua kalinya saya merasa jatuh dalam depresi. Saya benar-benar merasa
tak ingin. Tak berminat. Tak cocok di kedokteran. Lebih ekstremnya saya merasa tidak terpanggil menjadi seorang
dokter. Saya merasa tidak akan sanggup jika harus berhadapan dengan pasien
dengan sisi introvert saya. Mungkin sebenarnya ketidak sanggupan itu lebih
karena tak bisa menghadapi rekan kerja di rumah sakit nanti yang penuh dengan
“kesenioritasan”. Saya membayangkan masa depan jika saya menjalani koas
(pendidikan profesi kedokteran setelah lulus S1), betapa ngerinya. Saya juga
membenci rumah sakit dan terlebih saya takut dengan hantu, bagaimanapun rumah
sakit adalah tempat yang creepy.
Banyak yang kutakutkan. Terutama pada skill
saya dan kemampuan mengelola emosi serta komunikasi interpersonal saya. Skill saya: saya sejak dulu tidak
terlalu suka praktikum dan lebih menyukai teori, padahal dokter jauh lebih
banyak prakteknya. Emosi: saya terlalu impulsif dan moody, sangat mempengaruhi kinerja saya nanti. Komunikasi: setelah
berkali-kali tes MBTI saya selalu mendapatkan INFP, jadi saya memang INFP, dan
tes terakhir menunjukkan kalau sisi Introvert saya diatas 80% dan kecerdasan intrapersonal saya juga jauh lebih tinggi
dari pada kecerdasan interpersonal
saya. Dan itu begitu mengganggu saya jika saya harus bekerja di rumah sakit
bersama para rekan yang sangat mengedepankan kesenioritasan, mengedepankan
komunikasi dan etika. Banyak yang
saya takutkan dan saya merasa tidak diberikan pilihan.
Sejak SMA saya menkonsumsi yodium
setahun sekali karena saya mengalami pembesaran kelenjar gondok. Di tahun kedua kuliah saya tidak
mengonsumsinya karena jatah di puskesmas habis. Saya mendapati berat badan saya
turun. Lalu seperti saya bilang sebelumnya saya mengalami depresi yang cukup
berat. Saya bisa menghabiskan waktu menangis seharian di kamar tanpa ada yang
tahu. Ditambah mata kuliah yang sulit dan nilai yang buruk. Saya ingat ayah
saya pernah menderita hipertiroid sehingga di akhir semester 5 saya memeriksakan diri ke dokter dan mendapati
hormon tiroid saya normal tapi cenderung tinggi. Selagi saya di perantauan, ibu
saya berkonsultasi ke dokter puskesmas dan entah kenapa dokternya menduga dari
hasil laboratorium bahwa saya punya masalah yang pelik. Beliau berpesan agar
ibu saya lebih banyak membuka mata dan
telinga serta tidak banyak membuka mulut terhadap saya. Ketika pulang ibu
saya menceritakan hal itu kepada saya. Namun saya bukan orang yang dengan mudah
bercerita kepada orang lain, dan saya berusaha berpenampilan “saya baik-baik
saja”. Entah kenapa dokter puskesmas bilang kepada ibu bahwa jika seumpama saya
tidak menyibukkan diri ke organisasi (kegiatan positif) saya bisa jatuh ke arah
narkoba. Entah apa dasar dokter itu mengatakannya ke ibu tapi hal itu sangat
mengganggu saya.
Di tahun ketiga saya belum bisa “move on”. Saya bahkan sampai bertanya ke
dokter psikiatri yang mengajar saya tentang nasihat dokter puskesmas itu. Tapi
dokternya bilang bahwa dokter puskesmas ngawur dan tak memiliki dasar. Saya
diminta melupakan dan menganggap tidak terjadi apapun. Tapi tentu saja tidak mudah berhenti
memikirkannya.
Di tahun ketiga ini untuk pertama
kali saya berusaha mengatakan kepada orang tua saya bahwa “saya tidak mau jadi
dokter”. Mereka begitu cemas. Mereka bertanya alasan saya tapi sesuai
kepribadian saya, saya tidak mampu menjelaskan. Sampai akhirnya ibu mengatakan
kata-kata yang membuat saya ingin menangis.”Silvi
sayang mama kan? Kenapa ga mau jadi dokter”. Sayang mama. Yah, bahkan
sebelum ibuku mengatakan hal itu saya telah mengalami mimpi buruk tentang
tanggapan ibuku padaku yang dalam mimpi itu dia terlihat sangat sedih.
Mendapatkan mimpi buruk yang terkonfirmasi membuat saya semakin sedih. Saya merasa semakin bersalah. Kepada diri
saya karena tak bisa memperjuangkan keinginan sendiri. dan kepada orang tua
karena akan mengecewakan mereka. Pada akhirnya orang tua saya dengan ilusi positive thinking mereka
beranggapan bahwa perkataan saya dikarenakan hanya saya sedang stres dengan
mata kuliah saya. Saya berpikir percuma menjelaskan ke mereka karena mereka
tidak mungkin mengerti.
Dan kini di penghujung kuliah
preklinik saya, saya bingung. Menangis, sedih, saya ingin memberontak. Saya
sudah memutuskan akan menyelesaikan S1 saya yang hanya ditempuh dalam 3,5
tahun. Tapi setelah itu apa? Tentu orang tua berharap saya menjalani pendidikan
profesi dokter muda di rumah sakit. Dua tahun. Ditambah UKDI (UAN nya dokter)
yang belum tentu bisa sekali langsung lulus. Belum lagi internship (penempatan
kerja yang masih terikat fakultas) setahun di daerah. Bagi saya itu terlalu
lama jika dalam keadaan tidak cinta di “dunia ini”. Pilihan lain yang bisa saya
pikirkan adalah langsung melanjutkan S2 yang artinya saya mesti berlama-lama
memikirkan dunia kesehatan, meski saya tidak terlalu memiliki minat di
dalamnya. Pilihan terakhir adalah mencukupkan diri dengan S1 yang artinya akan
sulit mendapatkan pekerjaan yang pada akhirnya saya akan segera dicarikan suami
oleh orang tua saya. Tentu pilihan kedua dan ketiga memiiki konsekuensi
kekecewaan dari pihak keluarga, terlalu banyak pertanyaan “kenapa berhenti di s1?”, dan mungkin cibiran.
Oh ya, sebagai tambahan saya
tidak memiliki banyak teman disini. Itu karena saya begitu pendiam dan
tertutup. Dan saya merasa bahwa teman-teman di FK tak akan bisa mengerti
perasaan saya, passionnya tidak sama. Wajah saya barangkali sering murung. Namun
saya tipe “i’m fine” jika ditanya ada
apa. Bisa dibilang saya tidak menemukan rumah disini. Sementara saya pun takut
pulang ke rumah saya yang sebenarnya karena banyak beban harapan disana.
Sebagai akibatnya, mungkin karena tak tahan dengan kesepian dan rasa sedih,
takut dan lain sebagainya, saya menciptakan teman khayalan yang lain di usiaku yang sekarang. Saya merasa ironis harus bertemu
tokoh fiksi lagi. Tapi saya tak punya pilihan lain.
Dalam kasus “salah jurusan” ini
saya juga sudah mencoba mengisi kuesioner berikut:
Apa alasan
saya yang sebenarnya saat itu hingga saya mengambil jurusan ini?
Iseng, dan
saya yakin bahwa saya tidak akan diterima melihat track record SMA saya
sebelumnya yang hanya meluluskan siswa terbaiknya. Saya bahkan hanya peringkat
dua di kelas.
Sebenarnya,
saya ingin menjadi apa?
Saya hanya
ingin memenuhi daftar keinginan saya dan menjadi orang dengan pekerjaan yang
tak mengikat sebagai alatnya. Misalnya membuat kerajinan untuk dijual. Menjadi
guru honorer. Ikut suatu proyek jangka pendek. Semacam freelancer.
Apa
yang membuat saya merasa salah mengambil jurusan?
Karena menjadi
dokter bukan passion saya. Padahal untuk menjadi dokter harus memiliki
panggilan hati. Andai ini bukan kedokteran tetapi jurusan lain yang tak terikat
dengan profesi, sumpah, dan tanggung jawab moral mungkin bisa saya tolerir.
Seberapa
sering saya merasa ragu atas keputusan-keputusan saya saat ini?
Begitu sering,
seharusnya pertanyaannya adalah berapa kali saya yakin atas keputusan saya.
Karena nyaris tidak pernah yakin.
Benarkah berhenti kuliah adalah keputusan
terbaik saya? Apa yang akan saya lakukan selanjutnya?
Saya tidak
bisa berhenti kuliah, tapi mungkin setelah S1 bisa, bahkan saya tidak tahu
apakah itu keputusan terbaik. Saya memiliki plan A dan B jika berhenti di S1.
Plan A adalah melanjutkan S2, ini bukan pilihan bagus bagi orang yang tak
berminat di dunia kesehatan seperti saya, tapi mungkin bisa mengobati
kekecewaan orang tua saya nanti. Tapi saya pun belum tahu akan mengambil bidang
apa kalau S2. Plan B mencari kerja berbekal ijazah S1. Dan tentu saja jika saya
tidak berhasil di plan saya akan ada plan orang tua, dan mungkin saya akan
segera dicarikan suami.
Pertanyaan saya, apakah ada yang
salah dengan kepribadian saya? Apa Anda mempunyai saran tentang masa depan
saya? Seperti karir yang cocok dengan kepribadian saya. Apa benar profesi
dokter tidak cocok bagi INFP? Lalu apa yang bisa saya lakukan di akhir semester
menjelang kelulusan S1 saya? Sebenarnya saya sempat ingin berangkat ke psikolog
atau psikiater namun saya menyadari bahwa saya sangat sulit mengungkapkan
perasaan saya lewat kata-kata dan saya jauh lebih bisa berekspresi melalui
tulisan. Terima kasih sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar