I want to live my life to the absolute fullest

To open my eyes to be all I can be

To travel roads not taken, to meet faces unknown

To feel the wind, to touch the stars

I promise to discover myself

To stand tall with greatness

To chase down and catch every dream

LIFE IS AN ADVENTURE

Selasa, 24 September 2013

This is (almost all) My Story

Kisah ini ditulis untuk mendapatkan jawaban. Dikirim ke situs psikologi untuk mendapat bantuan. Jika Anda bisa membantu, kami akan senang.

Saya Silvi, usia 21 tahun, saat ini sedang menjalani kuliah semester akhir S-1 Pendidikan Dokter di salah satu PTN di Surabaya. Sejak awal saya sama sekali tidak berminat akan bekerja di bidang kesehatan atau biologi, saya jauh lebih menyukai sains “benda mati” seperti astronomi, fisika, atau geografi. Sejak dulu saya sering memimpikan masa depan yang penuh kebebasan. Saya tak mengejar materi, gengsi, atau jabatan. Saya memutuskan jika sudah bekerja nanti saya tak ingin menjadi PNS yang terikat oleh aturan. Saya tidak suka terikat. Ketika kecil saya ingin menjadi jurnalis, penulis, atau sekedar astronom. Saya pikir bahwa pekerjaan itu bukanlah sesuatu yang mesti menghasilkan banyak uang, memiliki prestise yang tinggi, tapi sesuatu yang kita cintai, sebuah passion, atau mungkin jalan hidup. Atau bisa jadi suatu alat untuk mencapai passion.
Sejak kecil banyak teman yang bilang bahwa saya berbeda (dalam pemikiran).
Saya sering memilih sesuatu yang tidak banyak orang lakukan. Ketika SD saya hampir selalu juara kelas, namun saya sering kali membencinya. Berbeda dengan diriku, orang tuaku adalah tipe manusia yang mementingkan prestise dan materi. Mereka terkadang menggunakan cara-cara "jalur belakang" untuk mencapai tujuannya. Karena juara kelas banyak teman-teman yang “menyukai”ku. Tapi aku melihat kepentingan dibaliknya. Aku pernah memohon kepada Tuhan tidak apa-apa jika tidak juara kelas asal bisa benar-benar memiliki teman, tak ada yang membenci karena iri, tak ada yang menyukai karena kepentingan. Ketika nilai saya di rapor lebih tinggi dari nilai ujian saya, saya pun memprotes kepada guru saya. Saya lebih suka diperlakukan apa adanya daripada harus mengistimewakan saya dengan memberi nilai yang tidak sesuai kenyataan. Hal itu dianggap teman-teman saya aneh, mereka tak mengerti bahwa saya sering tidak suka menjadi juara kelas. Meskipun saya juga suka dengan pujian. Suatu paradoks dalam sifat saya.
Sejak kecil saya menyukai benda-benda yang tak hidup. Berteman dengan tanaman, boneka, atau apapun itu. Membuat cerita-cerita dalam lamunanku. Puncaknya adalah ketika saya merasa “tidak punya teman” meski sebenarnya banyak orang disekitarku. Saya mulai menciptakan teman-teman khayalan yang pada akhirnya saya sadari bahwa mereka bisa membawaku jauh dari kenyataan. Saya pun menghapus mereka dengan “skenario” yang cukup indah dan memutuskan untuk belajar berteman dengan teman-teman nyata dan bisa menghadapi kenyataan. Kebersamaan dengan teman-teman khayalan itu sekitar setahun. Tapi selepas mereka pergi cukup sulit untuk beradaptasi dengan keadaan. Tentu ada perasaan kehilangan dan merasa aneh. Baru kelas 2 SMP saya menceritakan bahwa saya pernah menciptakan teman khayalan pada seseorang. Syukurlah, saya memiliki banyak teman ketika SMP. Mereka benar-benar mengobati diriku dan menjadikan aku diriku yang sesungguhnya. Meskipun saya masih sering merasa kesepian walau diantara teman-teman yang menyenangkan. Masa SMP adalah masa terbaik dalam hidup saya sejauh ini.
Saya memang susah menyampaikan perasaan saya. Saya lebih bisa menyalurkannya lewat tulisan baik secara tersurat namun seringkali tersirat. Banyak yang tidak mengerti “yang sebenarnya” malah ketika saya mulai menggunakan simbolisme dalam puisi curhatan saya. Mungkin karena itu saya ingin menjadi jurnalis ataupun penulis. Saya juga menyukai langit dan sering merasa terhubung dengan alam. Mungkin karena itu saya ingin menjadi fisikawan atau astronom. Saya juga lebih menyukai ide, teori daripada praktikum. Saya menyukai filsafat atau pemaknaan akan sesuatu. Banyak yang tidak mengerti tentang diri saya dan saya pun tak berusaha membuat orang lain mengerti meski ingin ada seseorang yang bisa mengerti. Bahkan terkadang saya pun tak begitu mengerti dengan diri saya.
Namun keinginan saya menjadi jurnalis, penulis, astronom tidak disukai oleh orang tua saya. Alasannya karena pekerjaan itu terlalu berat/ga pantas bagi seorang WANITA. Pekerjaannya ga jelas. Gajinya ga jelas. Gender disini begitu penting ternyata. Sudah sering saya “berdiskusi” yang pada akhirnya berujung perdebatan (karena ayah tipe yang tak penah mau kalah dengan pendapatnya). Mereka ingin aku mendapat pekerjaan yang menurut mereka “menjamin masa depan”. Seperti guru, PNS, lulusan STAN, atau dokter. Dan hebatnya saya tidak menyukai semua itu. (kecuali ide menjadi guru, saya suka, asal tidak terikat dan tidak harus mendapatkan gelar PNS).
Sampai pada akhirnya tibalah kelas 3 SMA. Saya bertekad akan mengambil SNMPTN untuk mengejar astronomi di ITB (karena mahal jika lewat jalur non SNMPTN). Saya sudah merencanakan akan mengambil FMIPA ITB (astronomi hanya ada di ITB dan kita hanya bisa memilih fakultas) sebagai pilihan pertama, Psikologi sebagai pilihan kedua, dan Fisika sebagai pilihan ketiga. Saya tipe planner yang ketika itu sudah memiliki planning hingga usia saya 45 tahun. Saya berpikir semuanya akan berjalan lancar. Hingga suatu hari saya tergerak untuk mencoba “cadangan jurusan” dengan memanfaatkan peringkat kedua di kelas saya lewat PMDK di salah satu PTN. Sebenarnya dari jurusan IPA saya tidak tertarik sama sekali, saya justru lebih tertarik dengan jurusan IPSnya. Tapi karena tak mau repot mengambil IPC akhirnya saya mengambil IPA. Dan setelah berdiskusi dengan orang tua, saya iseng memilih kedokteran di pilihan pertama saya. Saya yakin bahwa saya tidak akan diterima sehingga saya melakukannya dengan senang hati. Saya juga mengajukan PMDK ke salah satu PTN keguruan untuk jurusan Fisika, saya berharap bisa diterima sebagai “cadangan” sebelum SNMPTN.
Kenyataan setelahnya berkata lain. Tiga hari setelah tes, pengumuman menyatakan bahwa saya diterima di jurusan kedokteran. Sedangkan satu bulan kemudian saya menerima kenyataan bahwa saya tidak diterima di jurusan Fisika. Hal pertama yang saya lakukan ketika mendengar pengumuman dari teman saya adalah denial, saya berpikir ini semua hanya joke. Saya tak siap menghadapi orang tua saya. Saya bingung. Saya ingin menangis. Saya belum bisa memutuskan apapun. Hari itu seperti awal mimpi buruk bagi saya.
Saya mengonfirmasi kebenaran melalui pengumuman di internet. Saya tidak percaya. Saya tak pernah merencanakannya. Saya hanya peringkat dua di kelas. Banyak ucapan selamat berdatangan tapi hatiku semakin tersiksa. Ucapan terima kasih keluar hanya sebatas kata. Dan ketika pulang, saya yang merencanakan tidak menceritakan pengumuman ini kepada orang tua terlebih dahulu mendapati mereka yang bahagia karena tahu dari telepon teman yang mengucapkan selamat via telepon. Kontan saya bilang pada mereka sebenarnya saya tidak ingin bilang dulu. Mereka sama sekali tidak menangkap kesedihanku dan menganggap bahwa apa yang ingin kulakukan adalah usahaku untuk memberikan “surprise”. Okay, saya sungguh tak kuasa jika merusak kebahagiaan mereka.  Mereka begitu bahagia, begitu bangga, begitu bersyukur, dan apapun itu meskipun tanpa mereka sadari tepat dihadapan mereka saya begitu terpukul dan sedih. Dan hebatnya adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk masuk FK sangat sangat murah sekali akan amat jauh lebih murah dibanding jika saya masuk astronomi ITB plus bagi mereka FK menduduki kedudukan prestise nomor wahid.
Tiga sampai empat bulan sesudah pengumuman adalah masa penantian sebelum memasuki perkuliahan. Impian mengikuti SNMPTN kandas sudah. Saya bahkan tidak memiliki kesanggupan untuk mencoba. Mereka tak akan mengizinkanku. Semua rencana saya gagal. Saya merasa masa depanku kacau. Semua yang telah kususun berantakan. Saya berada dalam tahap “depresi dalam diam”.  Artinya, tidak ada yang tahu jika saya sedang depresi. Awalnya saya sudah mencoba untuk bercerita pada orang lain tentang perasaan saya tapi percuma. Mereka menghakimi saya sebagai orang yang tidak bersyukur. Mereka bilang banyak yang menginginkan posisiku. Jadi kuanggap mereka tak akan pernah mengerti. Prestise atau materi semua itu tak penting bagiku. Mereka tak akan mengerti. Meski jika alasan mereka adalah dokter bisa sangat berguna bagi orang lain, mereka juga tak akan mengerti bahwa saya sama sekali tidak memiliki minat di dunia pelayanan kesehatan. Mereka tidak mengerti jika saya benci terikat. Jika saya tidak suka menjadi malaikat yang bernama dokter yang harus selalu tersenyum kepada pasien. Mereka tak mengerti jika aku punya arogansi untuk mementingkan diriku sendiri, untuk mewujudkan daftar keinginanku, rencana-rencanaku. Mereka tidak mengerti.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan salah satu teman lamaku, dua bulan setelah pengumumanku dan bahkan sebelum perkuliahan dimulai, yang memiliki kisah yang hampir sama denganku. Dia yang sama sepertiku menyukai sains, sama-sama terjebak di kedokteran yang tidak disukai. Suatu kebetulan yang indah Tuhan memberiku teman seperti dia. Meskipun tidak di PTN yang sama dia banyak membantuku, entah dia sadar atau tidak, sehingga saya bisa bertahan sampai sekarang, di semester akhir S1 saya. Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpa bertemu dia waktu itu. Meskipun mengaku sebagai alone ranger sebenarnya aku sangat tidak tahan sendirian. Dan keberadaanya dan kisahnya telah menjadi booster bagiku untuk mencoba bertahan di tempat yang tak kusukai.
Di tahun yang pertama saya melakukan banyak cara agar saya bisa bertahan. Pertama dengan belajar yang giat agar tidak perlu ikut semester pendek dan bisa liburan. Kedua dengan ikut organisasi. Ketiga dengan berusaha melakukan re-planning atas rencana yang sebelumnya telah kubuang, kuanggap gagal tentang masa depan. Meskipun saya tahu bahwa tetap akan sulit untuk membuat saya cinta dengan dunia kedokteran ini.
Pada kenyataannya di akhir, saya tidak bisa terus menerus berlibur ketika musim liburan tiba. Dan organisasi hanya membuat lelah saja, saya gagal menemukan “teman” di dalamnya. Saya gagal menemukan komunitas yang kucari. Re-planning saya pun hanya sebatas kata. Hanya berjalan tak lama. Selanjutnya merasa tidak berguna karena terlalu beratnya siksaan batin akibat kekecewaan pada diri sendiri dan keadaan yang masih kuanggap salah.
Di tahun kedua saya mendapati bahwa saya memiliki tipe kepribadian INFP melalui tes di salah satu situs personality. Untuk pertama kalinya saya mendapatkan penjelasan mengapa saya begitu berbeda dengan begitu gamblang. Saya mulai mengerti siapa saya dan kenyataan bahwa sebenarnya saya tak ingin disini. Saya berusaha “menyibukkan diri” dengan organisasi.
Puncaknya di akhir tahun kedua. Untuk kedua kalinya saya merasa jatuh dalam depresi. Saya benar-benar merasa tak ingin. Tak berminat. Tak cocok di kedokteran. Lebih ekstremnya saya merasa tidak terpanggil menjadi seorang dokter. Saya merasa tidak akan sanggup jika harus berhadapan dengan pasien dengan sisi introvert saya. Mungkin sebenarnya ketidak sanggupan itu lebih karena tak bisa menghadapi rekan kerja di rumah sakit nanti yang penuh dengan “kesenioritasan”. Saya membayangkan masa depan jika saya menjalani koas (pendidikan profesi kedokteran setelah lulus S1), betapa ngerinya. Saya juga membenci rumah sakit dan terlebih saya takut dengan hantu, bagaimanapun rumah sakit adalah tempat yang creepy. Banyak yang kutakutkan. Terutama pada skill saya dan kemampuan mengelola emosi serta komunikasi interpersonal saya. Skill saya: saya sejak dulu tidak terlalu suka praktikum dan lebih menyukai teori, padahal dokter jauh lebih banyak prakteknya. Emosi: saya terlalu impulsif dan moody, sangat mempengaruhi kinerja saya nanti. Komunikasi: setelah berkali-kali tes MBTI saya selalu mendapatkan INFP, jadi saya memang INFP, dan tes terakhir menunjukkan kalau sisi Introvert saya diatas 80% dan kecerdasan intrapersonal saya juga jauh lebih tinggi dari pada kecerdasan interpersonal saya. Dan itu begitu mengganggu saya jika saya harus bekerja di rumah sakit bersama para rekan yang sangat mengedepankan kesenioritasan, mengedepankan komunikasi dan etika. Banyak yang saya takutkan dan saya merasa tidak diberikan pilihan.
Sejak SMA saya menkonsumsi yodium setahun sekali karena saya mengalami pembesaran kelenjar gondok.  Di tahun kedua kuliah saya tidak mengonsumsinya karena jatah di puskesmas habis. Saya mendapati berat badan saya turun. Lalu seperti saya bilang sebelumnya saya mengalami depresi yang cukup berat. Saya bisa menghabiskan waktu menangis seharian di kamar tanpa ada yang tahu. Ditambah mata kuliah yang sulit dan nilai yang buruk. Saya ingat ayah saya pernah menderita hipertiroid sehingga di akhir semester 5 saya  memeriksakan diri ke dokter dan mendapati hormon tiroid saya normal tapi cenderung tinggi. Selagi saya di perantauan, ibu saya berkonsultasi ke dokter puskesmas dan entah kenapa dokternya menduga dari hasil laboratorium bahwa saya punya masalah yang pelik. Beliau berpesan agar ibu saya lebih banyak membuka mata dan telinga serta tidak banyak membuka mulut terhadap saya. Ketika pulang ibu saya menceritakan hal itu kepada saya. Namun saya bukan orang yang dengan mudah bercerita kepada orang lain, dan saya berusaha berpenampilan “saya baik-baik saja”. Entah kenapa dokter puskesmas bilang kepada ibu bahwa jika seumpama saya tidak menyibukkan diri ke organisasi (kegiatan positif) saya bisa jatuh ke arah narkoba. Entah apa dasar dokter itu mengatakannya ke ibu tapi hal itu sangat mengganggu saya.
Di tahun ketiga saya belum bisa “move on”. Saya bahkan sampai bertanya ke dokter psikiatri yang mengajar saya tentang nasihat dokter puskesmas itu. Tapi dokternya bilang bahwa dokter puskesmas ngawur dan tak memiliki dasar. Saya diminta melupakan dan menganggap tidak terjadi apapun.  Tapi tentu saja tidak mudah berhenti memikirkannya.
Di tahun ketiga ini untuk pertama kali saya berusaha mengatakan kepada orang tua saya bahwa “saya tidak mau jadi dokter”. Mereka begitu cemas. Mereka bertanya alasan saya tapi sesuai kepribadian saya, saya tidak mampu menjelaskan. Sampai akhirnya ibu mengatakan kata-kata yang membuat saya ingin menangis.”Silvi sayang mama kan? Kenapa ga mau jadi dokter”. Sayang mama. Yah, bahkan sebelum ibuku mengatakan hal itu saya telah mengalami mimpi buruk tentang tanggapan ibuku padaku yang dalam mimpi itu dia terlihat sangat sedih. Mendapatkan mimpi buruk yang terkonfirmasi membuat saya semakin sedih.  Saya merasa semakin bersalah. Kepada diri saya karena tak bisa memperjuangkan keinginan sendiri. dan kepada orang tua karena akan mengecewakan mereka. Pada akhirnya orang tua saya dengan ilusi positive thinking mereka beranggapan bahwa perkataan saya dikarenakan hanya saya sedang stres dengan mata kuliah saya. Saya berpikir percuma menjelaskan ke mereka karena mereka tidak mungkin mengerti.
Dan kini di penghujung kuliah preklinik saya, saya bingung. Menangis, sedih, saya ingin memberontak. Saya sudah memutuskan akan menyelesaikan S1 saya yang hanya ditempuh dalam 3,5 tahun. Tapi setelah itu apa? Tentu orang tua berharap saya menjalani pendidikan profesi dokter muda di rumah sakit. Dua tahun. Ditambah UKDI (UAN nya dokter) yang belum tentu bisa sekali langsung lulus. Belum lagi internship (penempatan kerja yang masih terikat fakultas) setahun di daerah. Bagi saya itu terlalu lama jika dalam keadaan tidak cinta di “dunia ini”. Pilihan lain yang bisa saya pikirkan adalah langsung melanjutkan S2 yang artinya saya mesti berlama-lama memikirkan dunia kesehatan, meski saya tidak terlalu memiliki minat di dalamnya. Pilihan terakhir adalah mencukupkan diri dengan S1 yang artinya akan sulit mendapatkan pekerjaan yang pada akhirnya saya akan segera dicarikan suami oleh orang tua saya. Tentu pilihan kedua dan ketiga memiiki konsekuensi kekecewaan dari pihak keluarga, terlalu banyak pertanyaan “kenapa berhenti di s1?”, dan mungkin cibiran.
Oh ya, sebagai tambahan saya tidak memiliki banyak teman disini. Itu karena saya begitu pendiam dan tertutup. Dan saya merasa bahwa teman-teman di FK tak akan bisa mengerti perasaan saya, passionnya tidak sama. Wajah saya barangkali sering murung. Namun saya tipe “i’m fine” jika ditanya ada apa. Bisa dibilang saya tidak menemukan rumah disini. Sementara saya pun takut pulang ke rumah saya yang sebenarnya karena banyak beban harapan disana. Sebagai akibatnya, mungkin karena tak tahan dengan kesepian dan rasa sedih, takut dan lain sebagainya, saya menciptakan teman khayalan yang lain di usiaku yang sekarang. Saya merasa ironis harus bertemu tokoh fiksi lagi. Tapi saya tak punya pilihan lain.
Dalam kasus “salah jurusan” ini saya juga sudah mencoba mengisi kuesioner berikut:
Apa alasan saya yang sebenarnya saat itu hingga saya mengambil jurusan ini?
Iseng, dan saya yakin bahwa saya tidak akan diterima melihat track record SMA saya sebelumnya yang hanya meluluskan siswa terbaiknya. Saya bahkan hanya peringkat dua di kelas.

                Sebenarnya, saya ingin menjadi apa?
Saya hanya ingin memenuhi daftar keinginan saya dan menjadi orang dengan pekerjaan yang tak mengikat sebagai alatnya. Misalnya membuat kerajinan untuk dijual. Menjadi guru honorer. Ikut suatu proyek jangka pendek. Semacam freelancer.

                Apa yang membuat saya merasa salah mengambil jurusan?
Karena menjadi dokter bukan passion saya. Padahal untuk menjadi dokter harus memiliki panggilan hati. Andai ini bukan kedokteran tetapi jurusan lain yang tak terikat dengan profesi, sumpah, dan tanggung jawab moral mungkin bisa saya tolerir.

                Seberapa sering saya merasa ragu atas keputusan-keputusan saya saat ini?
Begitu sering, seharusnya pertanyaannya adalah berapa kali saya yakin atas keputusan saya. Karena nyaris tidak pernah yakin.

                 Benarkah berhenti kuliah adalah keputusan terbaik saya? Apa yang akan saya lakukan selanjutnya?
Saya tidak bisa berhenti kuliah, tapi mungkin setelah S1 bisa, bahkan saya tidak tahu apakah itu keputusan terbaik. Saya memiliki plan A dan B jika berhenti di S1. Plan A adalah melanjutkan S2, ini bukan pilihan bagus bagi orang yang tak berminat di dunia kesehatan seperti saya, tapi mungkin bisa mengobati kekecewaan orang tua saya nanti. Tapi saya pun belum tahu akan mengambil bidang apa kalau S2. Plan B mencari kerja berbekal ijazah S1. Dan tentu saja jika saya tidak berhasil di plan saya akan ada plan orang tua, dan mungkin saya akan segera dicarikan suami.


Pertanyaan saya, apakah ada yang salah dengan kepribadian saya? Apa Anda mempunyai saran tentang masa depan saya? Seperti karir yang cocok dengan kepribadian saya. Apa benar profesi dokter tidak cocok bagi INFP? Lalu apa yang bisa saya lakukan di akhir semester menjelang kelulusan S1 saya? Sebenarnya saya sempat ingin berangkat ke psikolog atau psikiater namun saya menyadari bahwa saya sangat sulit mengungkapkan perasaan saya lewat kata-kata dan saya jauh lebih bisa berekspresi melalui tulisan. Terima kasih sebelumnya.

Tidak ada komentar: