I want to live my life to the absolute fullest

To open my eyes to be all I can be

To travel roads not taken, to meet faces unknown

To feel the wind, to touch the stars

I promise to discover myself

To stand tall with greatness

To chase down and catch every dream

LIFE IS AN ADVENTURE

Jumat, 10 Februari 2012

The Adventure to Paris van Java

Bandung, Paris van Java, begitulah julukan kota kembang di bumi Sunda di daerah barat sana. Semua sudah tahu kalau Ciel sudah sangat lama ingin kesana. Bahkan sejak awal merencanakan travelling tempat pertama yang ingin dituju adalah Bandung.
Ya, jadi ini adalah tahun kedua Ciel setelah setahun yang lalu Ciel berpetualang di kota Gudeg dan ibukota Indonesia, Jakarta. Sempat tertunda setahun yang pada akhirnya tergantikan oleh Jogja di tahun 2011 tahun ini Ciel bertekad bulat sempurna harus pergi ke Bandung. Sempat terkacaukan oleh jadwal yang ada dan karena tidak adanya partner perjalanan namun welldone semua akhirnya terpenuhi dan siklus perjalanan pun dimulai.

Pertengahan Januari 2012
Di titik ini Ciel masih bingung bahkan kapan harus pergi dan dengan siapa. Akhir bulan Ciel harus ke Semarang sementara teman Ciel hanya kosong di akhir bulan. Dan Februari sudah penuh dengan urusan persiapan yudisium dan lain-lain. Hm… kala itu yang bisa Ciel lakukan hanyalah mempersiapkan diri. Ciel selalu percaya bahwa Tuhan hanya memberikan sesuatu kepada kita ketika kita telah siap menerimanya. Maka dari itu Ciel tanpa berpikir bisa pergi atau tidak saat itu tetap melakukan perencanaan perjalanan.
Seperti ketika menjelang petualangan ke Jogja, Ciel mencari info disana sini, melalui temen, internet, buku travelling yang dibaca gratisan di sudut toko buku (hehe ;p), dan apapun kulakukan demi mendapatkan hasil yang maksimal dengan budget minimal ala backpacker. Dan ketika itu Ciel telah menargetkan beberapa titik tujuan yang telah lama terbersit di pikiran ketika sempat terpikir Bandung menjadi kota tujuan pertama dalam travelling. Dan bla bla bla. Lalu kemungkinan terburuk jika Ciel tidak bisa ke Bandung, Ciel pun telah menargetkan tempat tujuan lain yang lebih membutuhkan energy fisik extra untuk melaluinya: Bromo dan Penanjakan-nya. Ya, begitulah, selama itu Ciel hanya melakukan survey lokasi.

H-seminggu
Bahkan kepastian tempat tinggal pun belum bisa ditentukan. Bingung beudz teteh, huweeeh. Dan kala itu Ciel mendapat tugas untuk ke Semarang tanggal 28-29. Sementara tiket telah dipesan tanggal 24. Ya, syukurnya sudah pasti ada teman seperjalanan kala itu. Meskipun agak maksa. Ya, teman Ciel hanya bisa berpetualang hingga hari Sabtu karena Senin tanggal 6 Februari sudah masuk kuliah. Sementara Ciel baru sampai dari Semarang tanggal 30 Januari. Begitulah waktu kita yang sempit itu akibat irisan waktuluang kita masing-masing. Dan kita sudah harus berangkat tanggal 31 demi memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, huweeh, bisa dibayangkan betapa capeknya. Sempat terpikir menyewa penginapan. Ketika itu kita browsing penginapan termurah 60rb/mlm di daerah Kiara Condong. Lalu sempat pula ingin mengontak mbak Imazahra, seorang backpacker muslimah asal Bandung, kali aja bisa membantu memberi tumpangan. Namun akunya ndak sempat mikir karena focus terpecah untuk tugas di Semarang. Pada intinya perjalanan kali ini tak sematang perjalanan ke Jogja setahun sebelumnya, namun berbekal impian dan harapan kami tetap bersikukuh berangkat.

H-1
Ciel baru sampai dari Semarang pagi-pagi buta dan basah kuyup karena kehujanan. Just to know, biaya ke Semarang adalah anggaran tak terduga, sekitar 250rb-an kukeluarkan untuk perjalanan ini. Pikir-pikir banget bisa ke Bandung atau tidak, apalagi Ciel juga mau pindahan kost.
Namun lagi-lagi, berbekal impian dan harapan Ciel melakukan survey biaya dan Alhamdulillah targetnya sekitar 300rb untuk ke Bandung dalam artian 2x biaya ke Jogja tanpa oleh2 (di Jogja Ciel belanja banyak jadi pengeluarannya mencapai 350rb, padahal kalo mau hemat 175rb sudah sangat berkecukupan untuk di Jogja 5 hari dengan akomodasi free tentunya).
Syukur, Allah memudahkan perjalanan Ciel dengan memberi kepastian bahwa kita dapat akomodasi yang lagi2 gratis di teman kita, padahal sebelumnya sudah pasrah banget.
Hari itu Ciel tak berkutik. Posisi masih di Surabaya. Udah gak kuat untuk sekedar packing. Energy tersisa malah digunakan untuk mencuci baju Ciel yang menumpuk dari perjalanan ke Semarang.

Hari H
Packing sedini mungkin (dalam arti yang sebenarnya, Ciel packing jam 2 dini hari), setelah adzan Shubuh langsung going ke stasiun Gubeng Lama demi mengejar Rapih Dhoho 5.44. dan kau tahu saking teparnya Ciel pun naik becak.
Di rumah Ciel bermanja-manjaan dengan keluarga, kangen tahu, dah semingguan gag pulang, padahal dah liburan lho, hayooo. Baru benar2 packing jam 10, padahal kita berangkat ke Kertosono jam setengah 1 siang.
Ya, dan hari itu tanggal 31 Januari, Ciel berpamitan ke semua orang (kecuali papa, karena papa belum pulang dari rapat), dan going ke stasiun Jombang. Tepat setelah turun dari motor, Rapih Dhoho jurusan Kertosono ke Blitar sedang ‘landing’ masuk ke area stasiun. Temanku sudah menunggu disana dan kami pun cabut.
Stasiun Kertosono…
Menunggu sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku. Ya, kami menunggu Kahuripan sekitar 2 jam. Hm… kalian pikir ini lama? Tidak, tidak. Kami sudah pernah melakukan penantian yang lebih panjang dari ini sekitar satu semester sebelumnya ketika akan merantau ke Jabodetabek. Kala itu kami menunggu Gaya Baru Malam datang sekitar 4 jam sebelumnya, hwaw. Dan ketika pulang kami harus menunggu 2 hari injury time karena kehabisan tiket.
Dan akhirnya sekitar setengah 4 ba’da Ashar pun kami memulai perjalanan yang sesungguhnya ke Bandung Raya.

1 Februari 2012
Seharian di kereta kita kebingungan merencanakan schedule di Bandung, termasuk bagaimana kita mencapai penginapan (alias kost2an gratisan milik teman) padahal tak ada seorang teman kita di ITB sana yang free alias semuanya pada kuliah. Namun setelah itu kami dapat kabar bahwa ada teman kami yang bisa menjemput kami dikarenakan praktikum nya lagi kosong. Waaah, Alhamdulillah banget dah. Dan untuk pertama kalinya ketika itu aku menginjakkan kakiku di Kiara Condong, bumi raya Bandung. Yang kulakukan pertama kali adalah menutup mata dan menghirup udara Bandung pagi dalam-dalam.
.: Stasiun Kiaracondong Bandung:.

Singkat cerita setelah itu kami berangkat dari stasiun ke simpang jalan yang bertuliskan D-A-G-O. Ya, kami telah sampai di kawasan Dago yang sangat dekat dengan kampus impianku dulu, kampus ITB.
Perempatan Dago

Lalu kami jalan kaki sepanjang perjalanan menuju kompleks masjid yang dari dulu aku ingin menginjakkan kakiku disana, Masjid Salman. Huwaaa… masjid Salman sama persis seperti yang kulihat di foto selama ini, namun kukira masjid ini akan sedikit lebih besar, tapi ternyata meski tak begitu besar pun aku tetap terkagum-kagum dengan arsitektur masjid tanpa tiang itu. Kalian mungkin berpikir kami akan shalat atau apa di masjid. Eitz, tidak benar. Kami sedang menuju kantin masjid untuk sarapan. Lagi-lagi Ciel dibuta kagum dengan gaya pengelolaan masjid Salman yang telah terstruktur dan tertata dengan baik *mupeng*.
Setelah sarapan kami pun menuju kostan dengan menyusuri sepanjang Jalan Ganecha dan sedikit melirik permukaan kampus ITB dari depan, hehe *mupeng lagi*. Dan kami pun sampai dan meneparkan diri, gulung-glung, meluruskan kaki yang seharian menekuk di kereta dan bla bla bla.
Jam 12 an teman kami, si pemilik kamar datang, welcome kepada kita, haha. Dan kau tahu kami dengan sukses membuatnya tercengang melihat kamarnya yang 100% berantakan oleh barang-barang kami, hahaha.
Pukul 2 kami bersiap mengawali perjalanan. Hari pertama itu kami telah menargetkan untuk menyusuri ruas-ruas jalanan kota Bandung di Jalan Braga, Jalan Asia Afrika, kompleks Alun-alun dan Masjid Raya, dan Gedung Sate beserta lapangan Gasibunya.
Gedung Harian Pikiran Rakyat

Mesin Setter Lynotipe Model 73 dipajang di depan Gedung Pikiran Rakyat
museum Konferensi Asia Afrika
Masjid Raya Provinsi Jawa Barat

: Jalan Asia Afrika, disini ada Kilometer Nol kota Bandung, Alun-alun dan Masjid Raya:.


.: Gedung Sate, foto ini diambil dari Lapangan Gasibu:.

Kilometer nol kota Bandung

Yah, karena memang gelap alias gak punya peta kami salah start. Seharusnya kami mengawali jalan kaki dari Braga malah kami jalan kaki menyusuri Jalan Tamblong, lalu menuju Jalan Asia Afrika, dan yukatta kami menemukan kilometer nol Bandung yang selama ini kami cari dan gak tahu dimana posisinya. Eureka! Ternyata dia ada disini, dan serendipity, kami menemukan monument titik nol ini tanpa sengaja.

Setelah klik klik, jepret pemandangan bangunan tua disana sini kami pun mengejar Maghrib di alun-alun alias masjid raya. Ya, kita shalat Maghrib disana. Alun-alunnya besar dan indah, sayangnya seperti biasa, pemandangan muda-mudi bercumbu mesra ada dimana-mana, huwiiih, iiih, males banget liatnya. Well, terlepas dari semua itu, Bandung tetap tampak indah di senjanya. Kami menghabiskan masa di Alun-alun dengan wisata kuliner khas Bandung: batagor (fee: Rp 5.000,-/porsi). Karena kami backpacker kami sudah dari awal sedia minum sendiri sehingga tak perlu beli air (tips ‘n trick).
Selanjutnya karena sudah gelap kami memutuskan untuk tidak ke Braga tapi langsung cabut ke Gedung Sate. Ya, kantor gubernur itu tampak sangat indah dengan kemilau lampu putihnya yang bersinar terang. Sugoi… akhirnya aku disini juga, di ikon Bandung yang dah lama pengin kesini. Setelah foto klik klik, akhirnya kami menyeberang ke tempat remang-remang di depannya. Huwiiih, maut. Banyak banget cowok cewek yang bermesraan disini. Whatever,Ciel Cuma pengin liat Gasibu, dan ternyata berfoto dengan latar Gedung Sate dari sini jauh lebih indah. Sugoi~
Itulah akhir perjalanan kami di hari pertama. Selanjutnya kami merencanakan petualangan tanpa guide tour di hari kedua kami dengan target: Ciwidey.

2 Februari 2012
Hari kedua kami mulai dengan sms sana sini, browsing sana sini memastikan perjalanan aman tanpa tersesat menuju Bandung selatan, maklum saja, kami buta arah dan tak memiliki navigator alias teman yang telah berpengalaman sebagai guide.
Kami memulai perjalanan dari Simpang Dago naik Damri ke terminal Leuwi Panjang, lalu naik elf ke Ciwidey dan oper angkot jurusan Patengang menuju kompleks kawah putih.
Perjalanan yang kami tempuh lebih dari 2 jam menuju lokasi, huwaaah, benar2 penuh perjuangan. Tapi terbayar. Pemandangannya sungguh sungguh sangat indah. Sugoi~ Amazing!!! Tak henti-hentinya tasbih terlantun dari mulutku kala itu.
Kami di lokasi hanya sekitar sejaman karena memang tidak boleh terlalu lama di pusat kawah coz kandungan belerang yang tinggi bisa membahayakan kesehatan kita. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Situ Patengan, suatu danau legendaries tak jauh dari kompleks kawah putih. Tapi untuk itu perjalanannya menanjak naik karena letaknya yang berada di puncak. Cukup indah meski tak ada yang mengalahkan kawah putih Ciwidey. Tempat ini mengingatkanku pada danau di Selorejo, Malang. Saat itu Ciel juga sempat menyeberang danau, berperahu menuju komples bernama batu Cinta. Kebun, danau, dan langit biru menjadi kesatuan padu yang indah tak terlukiskan untuk mengenang hari yang kami lewati di Ciwidey hari itu.
Kawah Putih Ciwidey
Situ Patengan (mirip Danau Selorejo di Malang)
Batu Cinta di Kompleks Situ Patengan

Hari kedua sangat melelahkan karena kami memiliki sedikit masalah dengan tumpangan kami. Sopir angkot yang kami tumpangi meminta fee yang di luar bayangan kami. Sehingga sedikit ada ganjalan ketika kami pulang. Namun terlepas dari semua itu hal tersebut tak menjadi halangan untuk menjadikan perjalanan ke Ciwidey sebagai petualangan yang mengesankan. ^^

3 Februari 2012
Hari ketiga, adalah hari Jumat, hari yang pendek kata orang-orang. Maka dari itu kami tak berencana melakoni perjalanan jauh. Target kami adalah ITB lalu pusat kota.
Ya, kali itu, Ciel, setelah sekian lama, bertemu dengan orang yang sangat Ciel sayangi, N_chan. Arigatou N_chan telah menyempatkan diri di tengah kesibukan kuliah untuk menemani Ciel keliling ITB. Huweeeh, kangen beudz saat itu, hikz hikz hikz… TT. Seperti biasa, hubungan Ciel dan N_chan diwarnai kecanggungan. Itulah indahnya kurasa. Aku sangat menyayanginya. Untuk pertama kalinya orang yang aku ungkapkan cintaku adalah dia. Huweeeh, uhibbuki fillah jiddan >.< luv luv luv.
Kali itu di sedikit rentang waktu yang ada dari jam setengah 11 hingga mendekati jam 1 kami berjalan bersama-sama. N_chan menunjukkan semua bangunan, sejarah, tempat menarik, bagian favoritnya, dan apapun tentang ITB. Huweeh, tahukah, andai bisa bersamamu disini. Ciel pengin banget. *mupeng untuk kesekian kalinya*. Jujur dari lubuk hati yang terdalam kompleks ITB sangat keren, arsitekturnya, mitologi, sejarah, semua bagiannya sangat indah. Bagi kalian yang sempat ingin kuliah disini dan gak kesampaian Ciel recommended banget buat kalian untuk berkunjung disini.
Tapi waktu berjalan singkat. Dan N_chan harus segera kuliah, kami pun berpisah. Huwaaa, sakit. Dan aku sedikit menyesal kenapa harus canggung sekali saat itu. Kami nyasris seperti tak punya hubungan apa-apa. Tapi bagaimanapun, aku tetap sayang N_chan.
bentuk double helix seperti DNA menjadi pola arsitektur bangunan ini
kolam Indonesia, di seberangnya ada kolam Indonesia Raya
Tugu Soekarno, ITB diresmikan tahun 1959
Fakultas impian Ciel dulu T^T
Fakultas sahabat Ciel ^_^

Selanjutnya Ciel wisata kuliner lagi, makan Siomay (tapi mahal beudz: 8.000, yach mungkin karena habis ada jumatan kali ya jadi agak mahalan, padahal umumnya 5000an lho). Next, we going to pusat kota.
Tujuan utama saat itu adalah Pasar Baru, hehe. Akhirnya wisata belanja pun dimulai. Pada akhirnya Ciel cuma beli gantungan kunci dan makanan khas buat oleh-oleh, hehe. Dan hari pun sudah sangat petang sehingga lagi-lagi niat jalan-jalan ke Braga pun kami urungkan dan kami pun pulang (jauh lebih awal dari hari-hari sebelumnya).

4 Februari 2012 (Last Day)
Hari ini sangat Ciel tunggu-tunggu. Kenapa? Karena hari ini kami berencana pergi ke tempat yang sudah 10 tahun Ciel bermimpi datang ke tempat tersebut. Ya, ini dia alasan kenapa Cel pengin banget dulu meneruskan studi ke ITB, dan tempat itu bernama Bosscha. Perjalanan di hari terakhir ini bertujuan di kompleks Observatorium Langit di daerah Lembang, Bandung Utara.
Sudah sejak jam 8 kami keluar kost (bagi kami itu paling pagi, karena biasanya kami bermalas-malasan cz males mandi, air di Bandung super duper dingin beudz, hehe). Sarapan terus going deh ke Lembang. Sempat kebablasan juga waktu naik angkot namun pada akhirnya sampai juga. Perjalanan ke Bosscha kami tempuh dengan berjalan kaki mendaki sepanjang 2,2 km. Sungguh pengorbanan yang tak sia-sia demi impian melihat Teropong Bintang terbesar di Asia Tenggara, tanah para astronom, sungguh impian bagi aku yang menyebut diri sebagai astronom amatir untuk sekedar bercengkerama dengan langit lebih dekat.
Berbekal HTM 7.500 kami berkesempatan menjelajahi kompleks observatorium. Kami juga sempat berkenalan dengan rombongan kakak2 UIN Bandung yang sedang KKN, kami menikmati demonstrasi di rumah teropong oleh petugas dari Jurusan Astronomi, FMIPA ITB dan menyimaknya dengan penuh kekaguman. Lalu melihat multimedia tentang sejarah Bosscha dan sedikit tentang astronomi. Huhuhu, Ciel sungguh pengin banget nangis, pengin banget menjadi bagian dari mereka. Pengin banget ikut memiliki kawasan yang sangat dekat dengan langit itu. Tapi lagi-lagi apa daya. Namun lalu Ciel tersenyum, karena Ciel telah mencapai semua ini dengan perasaan yang tak bernilai tak lain karena Ciel bukan bagian darinya. Mungkin akan berbeda jika Ciel adalah mereka. Berbeda dalam memandang dan mengagumi tempat ini. Hm… kukatakan dalam hati ‘kalian adalah orang-orang terpilih’. Namun aku punya banyak pilihan lebih untuk menuju ke arah sana sekaligus ke arah lain. Terima kasih Tuhan, kau telah menjemput impianku untuk berada disini dengan latar sebagai astronom juga. Dekat juga dengan kawan-kawan pecinta langit. Terima kasih Tuhan, karena mempertemukanku dengan langit, dengan Surabaya, dengan klub astronomi amatir, dengan segalanya. Perjalanan menuju akhirku mungkin akan jauh berliku, namun itu akan membuat segalanya lebih indah, iya kan?!
Sudah, sudah. Berhenti bersikap melankolis. Di Bosscha yang kami lakukan tentu jepret sana sini dengan segala kenarsisan yang ada, ahahah. Mumpung disini. Hehe. Saying banget baterai kamera kami habis. Hikz. Tapi kami cukup puuas hari itu. Sempat membeli oleh-oleh. Pengin banget beli kaosnya tapi kemahalan, dan lagi gag bawa uang lebih, huhu. Ngenes kata orang Jawa. Akhirnya Cuma beli stiker dan lagi-lagi gantungan kunci. ^^
Ini nih pintu gerbang kawasan Bosscha setelah pendakian 2,2 km
Teropong Zeiss yang terkenal itu (ada mas2 yang lagi ngasih penjelasan)
Rumah teropong Zeiss sebagai ikon Bosscha

Selanjutnya bersama mbak-mbak dari UGM yang lagi PKL kami menuju ITB lagi. Ini dia puncaknya. Hari ini kami sedang menuju perayaan puncak anak-anak ITB alias ITB Fair 2012. Huwooo, sugoi~ kereen banged. Dan yang lebih menyenangkan kami bebas berfoto disana sini tanpa malu karena memang lagi banyak orang yang melakukan hal yang sama.
Ada band, banyak mascot, banyak karya anak ITB yang ditampilkan. Wisata kuliner dan kemeriahan suasana festival yang tak mungkin kami lewatkan begitu saja.
Ya,mungkin inilah akhir yang indah di Bandung, persembahan dari ITB lagi-lagi.
Spanduk ITB Fair 2012

Pukul 4 tepat kami menuju ke kostan untuk persiapan packing. Lalu pukul 7 kami mulai bersiap going to stasiun Kiara Condong. Perjalanan yang indah selama di Bandung. Semua itu harus segera berakhir malam ini. Sejam setengah perjalanan melewati kemacetan menuju stasiun. Kuucapkan selamat tinggal melalui sms kepada N_chan, dan orang-orang yang sangat kusayangi yang belum sempat ku kunjungi, orang-orang dari masa laluku. Sempat bermelow ria via sms. Dan akhirnya kuucapkan. Bandung, Sayounara! TT

Tidak ada komentar: