I want to live my life to the absolute fullest

To open my eyes to be all I can be

To travel roads not taken, to meet faces unknown

To feel the wind, to touch the stars

I promise to discover myself

To stand tall with greatness

To chase down and catch every dream

LIFE IS AN ADVENTURE

Jumat, 10 Februari 2012

Apa pentingnya kedokteran bagimu?

Pertanyaan itu sama artinya dengan pertanyaan: Apa pentingnya dirimu bagi dunia?
Ah, bukan. Saya lebay, hehe.
Mungkin tidak hanya sekarang saya memikirkan arti kata itu, tapi di masa lalu dan mungkin masa depan juga.
Aku bahkan lupa apa dulu aku pernah bermimpi menjadi seorang dokter. Sepertinya ketika itu dokter adalah profesi yang menjadi dambaan setiap anak.
Entahlah, tapi aku tak memungkiri kalau kata itu sering sekali mengisi celah waktu perjalanan hidupku.
Iya, mungkin saja ketika kecil dulu aku pernah bercita-cita menjadi dokter, disamping keinginanku menjadi guru, jurnalis, desainer, musikus, dan banyak hal lain.
Lalu tiba saat ketika apa yang kucintai sejak kecil ingin kujadikan masa depanku. Aku ingin langit itu menjadi bagian dari hidupku. Kutulis di semua tempat tentang sanjunganku pada angkasa raya, tentang keinginanku menjadi astronom, dan tentang keinginan orang tua yang menuntutku mendapat pekerjaan yang ‘lebih layak’.
Begitu juga ketika kuutarakan keinginanku menjadi seorang jurnalis. Dalam sekali ucap mereka dengan tegas menolak hasratku.
Masa laluku penuh penolakan. Dan sebaliknya aku pun banyak menolak apa yang mereka tawarkan. Aku menolak gambaran masa depan menjadi PNS, menjadi dokter, menjadi guru tetap, menjadi dokter, dan menjadi abdi Negara.
Ya, di catatan yang kutulis di tahun 2005 hingga 2007, kata astronom itu kubandingkan dengan kata dokter. Aku tak tahu apa ini juga membentuk benang merah dengan masa kini ku. Lucu sekali.
Ketika SMA pergulatan itu semakin kentara. Aku tak tahu bukankah seharusnya aku yang menyetir arah hidupku sendiri. Tapi semua pasti tahu, orang tua terkadang punya peranan lebih dalam mengintervensi kehidupan anaknya. Berkali-kali teman-teman mengingatkan bahwa pilihan orang tua akan lebih baik dibanding jika menuntut keegoisan diri terpenuhi. Ya, bahkan ketika itu aku mengecap diriku sebagai sosok yang egois mempertahankan ego yang keras. Sosok anak muda idealis yangmendambakan kebebasan seperti burung kecil yang dengan terburu-buru ingin terbang lepas keluar dari sangkar.
Aku lelah melawan, aku lelah berdebat. Hingga entah siapa yang menyuruhku mengatakan ketika itu. ‘Mau nerusin kemana, nduk?’, kata seorang guruku di MTsN. ‘Di kedokteran, Pak’.
What?! Aku sendiri tak percaya dengan ucapanku ketika itu.
Sejak tahun 2008 sebenarnya aku telah memetakan hidupku hingga 30 tahun kedepan. Termasuk kira-kira dimana aku kuliah. Aku yakin bahwa aku ingin di ITB, tapi entah kenapa teman-teman tak melihat keinginanku itu. Mereka hanya berpikir aku menyukai astronomi, tidak seperti aku menginginkan itu sebagai masa depanku nanti.
Aku bahkan sudah merencanakan SNMPTN ku. 1. FMIPA ITB (target : a. Astronomi b. Fisika), 2. Psikologi UNAIR, 3. Pendidikan Fisika UM.
Orang sepertiku yang malas belajar, yang gak pernah ikut bimbel bahkan dengan sangat bersemangat membeli buku soal latihan SNMPTN jauh-jauh di Gramedia Malang. Buat apa coba? Tentu saja karena aku gak punya pilihan lain selain SNMPTN. Sebelum itu ITB hanya membuka USM yang notabene formulir pendaftarannya aja 800rb. Pake uang apa coba?
Hah, Tuhan memang telah berkehendak lain, dan disinilah aku sekarang. Di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Ya, itu sekilas kedokteran bagi masa laluku.
Dan apa artinya kata itu bagiku kini?
Bagiku tanpa kedokteran aku tak akan bertemu dengan orang-orang special di hidupku. Tanpa kejatuhan ketika itu aku tak akan mendapatkan manisnya ikatan dengan orang-orang yang mendampingi kebangkitanku. Lalu kutanya apa alasan ini cukup untuk berdamai dengan masa kini mu? Dan kubilang cukup, tapi aku ingin lebih.
Kedokteran adalah kata yang hebat. Semua orang paham bahwa dokter adalah profesi tertinggi dalam strata impian setiap anak. Yang kulakukan kini hanyalah menjalani apa yang ada. Seperti  game, aku hanya ingin mencapai finish. Dan kuharap tidak ada level selanjutnya setelah itu sehingga aku bisa berpindah ke game selanjutnya.
Apa yang kutakutkan dulu tentang kedokteran ternyata tak semuanya terjadi. Mungkin saja sebenarnya aku telah mendapatkan ganti yang jauh jauh jauh lebih baik meski mungkin aku sekarang juga belum menyadarinya. Bagaimanapun I refuse to give up. Semua orang tahu bahwa Ciel tak akan pernah lelah dalam menjadikan impian sebagai garis terdepan hidupnya. Aku masih punya banyak hal yang ingin kuraih di dunia ini. Kedokteran bukan final. Kedokteran bukan satu-satunya dalam hidupku. Kedokteran bukan akhir. Tapi ini hanyalah bonus. Ku bayangkan tulisan dr. Silvi Dwi Agustin pada akhirnya akan tersemat di dadaku. Dan aku yakin ketika itu aku tak lagi menyesal. Tapi aku telah tersenyum. Karena aku juga mendapatkan yang lain. Aku mendapatkan apa yang kuimpikan juga.
Ini seperti kau menginginkan rumah tapi sebelum itu kau mendapatkan mobil secara cuma-cuma meski kau tak menginginkannya. Meski terkadang kau merasa memiliki mobil itu sangat merepotkan. Seperti itulah kedokteran itu datang dalam hidupku. Aku tak menginginkannya, tapi anggap saja itu adalah bonus yang mungkin akan mengantarkanmu dalam perjalanan yang jauh lebih indah untuk meraih semua impian-impian yang ada.
Ciel, kau mungkin belum menyadarinya. Tapi aku tahu kau telah percaya  bahwa rencana Tuhan sangatlah indah.
Jadi apa kesimpulannya?
Aku tak akan menyiakan bonus kehidupan yang telah diberikan Tuhan padaku ini. Aku tetap akan mengejar semua yang telah kutargetkan. Menembaknya satu persatu seperti aku menembak bintang-bintang.
Jadi katakan: AKU AKAN MENJADI DOKTER, DOKTER YANG BAIK DAN PINTAR.

Ciel 7.00 10 Februari 2012

Tidak ada komentar: