I want to live my life to the absolute fullest

To open my eyes to be all I can be

To travel roads not taken, to meet faces unknown

To feel the wind, to touch the stars

I promise to discover myself

To stand tall with greatness

To chase down and catch every dream

LIFE IS AN ADVENTURE

Rabu, 21 Desember 2011

'Ali dan Fathimah

Tanyakan kepada dunia apa itu cinta? Jika bukan oleh bentang waktu yang panjang, genap dengan sukacita dan kegetiran, bagaimanakah caranya mengukur kedalaman cinta?

Gemetar bibir Fathimah bukan oleh sebuah ketidakrelaan. Lunglai kepalanya menyandar pembaringan, sedangkan pikirannya telah jauh melangkah menembus dunia tempat menjejak manusia-manusia. Beberapa perempuan menunggui di sekitar tempat tidurnya, sedangkan 'Ali, laki-laki yang di matanya tampak cahaya, berdiri tak jauh dari situ.

Fathimah menatap redup mata'Ali yang sepanjang dia kenal, senantiasa terbuka lebar untuk ilmu dan kebenaran. Inikah 'Ali? Lelaki yang sejak bayinya tak pernah menjejaki keburukan. Lahir ke dunia di sebalik tirai Ka'bah, dinamai "'Ali" oleh sang Nabi, dan sejak itu senantiasa mengikuti sang Nabi seperti anak yang menuruti ibunya.

Inikah 'Ali? Lelaki pertama yang membenarkan ajaran sang Nabi dan semenjak itu tak pernah membiarkan nikmat dunia memperdayanya. Pahlawan dalam banyak pertempuran, sarjana di depan ilmu pengetahuan, suami yang meringankan beban istri dengan tangannya sendiri.

"Wahai Putra Pamanku," Fathimah menahan gundah sementara bibirnya berupaya tersenyum,"saat-saat yang kunantikan semakin dekat, dan jiwaku semakin merunduk. Sungguh, tak ada yang kuharapkan kecuali pertemuan dengan ayahku, Rasulullah. Dan, aku hendak mewasiatkan kepadamu beberapa hal yang terlintas di pikiranku."

'Ali berusaha tersenyum sedangkan dadanya mulai sesak oleh sakit cinta dan kesedihan. Dia merapat ke pinggir pembaringan Fathimah, sementara para perempuan keluar dari kamar secara perlahan. 'Ali duduk di samping istrinya. "Wasiatkanlah kepadaku apa yang engaku sukai, wahai, Putri Rasulullah."

"Wahai Putra Pamanku." Fathimah tak terbata-bata mengatakan apa-apa yang dia pikirkan. Hanya tampak kelelahan dan lirih terucapkan. "Engkau tidak mendustakan dan tidak mengkhianati janji yang kau ucapkan. Dan, aku tidak pernah berpaling atau mengkhianatimu sejak kita bersama."

Telapak tangan 'Ali bergerak perlahan. Menyentuh kepala istrinya dengan kasih. "Aku berlindung kepada Allah. Sungguh engkau adalah orang yang paling arif dan mengenal Allah. Engkau orang yang paling baik, paling bertakwa, paling mulia, dan paling takut kepada Allah."

Senyum 'Ali. Senyum pemuda pemalu yang imannya tak pernah tunduk kepada kezaliman. "Sungguh Allah telah memuliakanku, tetapi perpisahan denganmu adalah ketetapan Allah yang niscaya dan tidak dapat dihindari. Demi Allah, kepergianmu membangkitkan lagi kesedihanku setelah ditinggal oleh Rasulullah. Kehilanganmu membangkitkan duka yang tiada taranya. Sesungguhnya kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah."

Tak sanggup lagi menahan air mata. Memanas mata 'Ali, berjatuhan tetes cinta dari kedua sudutnya. Tangannya mengangkat kepala Fathimah, dia tempatkan ke pangkuannya, ketika istrinya itu pun mulai tersedu. " Wasiatkanlah kepadaku, sekehendakmu."

Inikah 'Ali? Fathimah menahan kalimatnya. Seolah ingin lama-lama menatap suaminya, dan biarkan saja begitu selamanya. 'Ali, oh, 'Ali... betapa bahagianya menjadi istrimu. Jika dunia menjadi ukuran kebahagiaan, alangkah Fathimah tidak mendapatkan sebagian kecil darinya sekali pun. Namun, kebahagiaan adalah ketika Fathimah meyakini 'Ali lah imamnya yang sebenarnya. 'Ali, alangkah bahagianya menjadi bagian dari hidupmu.

....

Berkumpul sebagian besar penduduk Madinah di rumah Fathimah. Di bibir mereka ada tangisan, pada dada mereka berdentum kesedihan. Duduk di bagian depan rumah dengan tangisan yang mengusik telinga. Duduk diantara mereka, 'Ali bin Abi Thalib bersama dua anaknya, Hasan dan Husain.

Dua lelaki muda itu tersedu-sedu oleh kemalangan yang mereka rasakan. Sang ibunda yang telah memberikan segalanya, telah terbaring sempurna untuk selamanya. Tak ada lagi pangkuan lembut penuh keibuan, belaian kasih sayang, dan hari-hari sarat ilmu pengetahuan bersamanya.

'Ali lebih banyak diam, menahan beban hati. Meski lama kelamaan, tangisan kedua anaknya mulai membuatnya merasakan duka yang sama. Paling lama enam bulan lalu, kehilangan besar hampir membuatnya limbung, ketika sang Nabi, sang guru tercinta kembali ke Penciptanya.

Hari ini, sang putri Nabi, pendamping setia, ibu bagi anak-anaknya menyusul ayahya sesuai janji sang Nabi. Fathimah akan menjadi anggota ahlulbait yang kali  pertama bertemu dengannya di Surga. Begitu kata sang Nabi sebelum wafat. Hari ini, terbukti sudah apa yang dahulu ia ungkapkan.

Dua kehilangan yang membuat 'Ali merasakan bumi dan langit saling merapat, mengimpitnya sampai sesak. Siapakah nanti yang akan merawat dan memebesarkan anak-anaknya? Sanggupkah 'Ali seorang diri berjalan dalam segala keributan dunia?

Tanpa Fathimah. Seperti apakah dunia tanpa Fathimah? Tenggelam semakin dalam, 'Ali kian merasa kehilangan. Alangakah hancur perasaan jika tak ingat tentang janji Tuhan perihal kebahagiaan akhirat yang kekal abadi. Menguatkan hatinya, 'Ali melakukan semua yang harus dilakukan oleh seorang belahan hati ketika sebelah hatinya telah tiada. Di antara isak tangis para pengantar, bebunyian sayup dan dekat, gelap malam, 'Ali terus berjalan dalam ketabahan.

Melangkahkan kaki menuju rumah kembali, 'Ali melewati makam sang Nabi. Terhenti sebentar kedua kaki. Sembari matanya berkaca dan hatinya luka, membisik kalimat dari bibirnya, "Assalamualaika, ya, Rasulullah."

'Ali menguatkan diri. "Darimu dan dari putrimu serta dari setiap orang yang menziarahimu, pilihannya adalah cepat bertemu denganmu. Wahai Rasulullah, kesabaranku berkurang dari kesucianmu dan ketabahanku berkurang darinya." 'Ali menyinggung Fathimah, "Kecuali bahwa aku mengikuti sunahmu dan pada kelompokmu adalah tempat yang mulia."

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah dikembalikan titipan, telah diambil jaminan, dan telah dirampas Az-Zahra. Maka, apa yang terjelek antara kehijauan dan keasingan? Wahai Rasulullah, kesedihanku akan abadi, malamku tidak bisa tidur, dan hal itu tidak ada habis-habisnya dari hatiku, sehingga Allah memilihkan untukk rumahmu yang kau tinggali seperti sentakan yang menyakitkan sekali."

'Ali pulang dengan dada bergetar. Dia menutup pintu dan menghabiskan banyak waktu untuk merenung. Mengenang mereka yang telah lebih dahulu meninggalkannya. Air mata 'Ali tak kunjung berhenti menetes oleh kerinduan dan kepiluan. Sesuatu yang kemudian membuatnya bersenandung lirih:

"Aku melihat begitu banyak kesulitan dunia datang menghampiriku. Para pencari dunia terus mengejarnya hingga kematian menjemput. Bagi setiap persatuan niscaya ada perpisahan yang tak terelakkan. Kehilangan ditinggalkan Fathimah dan Rasulullah adalah isyarat. Bahwa tidak ada yang abadi, meski pun ia kekasih yang terdekat."


Tidak ada komentar: