*just curcol*
Sudah sejak lama perbedaan tercipta di muka bumi ini. Dan
perbedaan itu adalah keniscayaan selama manusia hidup di dunia ini.
Beberapa waktu lalu perbedaan itu tercipta, yaitu ketika
penentuan awal Ramadhan di Indonesia. Ketika sebagian umat memilih berpuasa
pada hari Jumat, 21 Juli 2012 mengikuti salah satu ormas Islam Indonesia
sedangkan sebagian yang lain memilih mengikuti ketetapan pemerintah Indonesia
dengan berpuasa pada hari Sabtu. Yah, dan berkat peristiwa ini lagi-lagi
astronomi ramai diperbincangkan di masyarakat luas. Hm... rasanya begitu
menyenangkan sekaligus begitu menegangkan. Mengapa begitu? Karena astronomi pun
menciptakan persepsi yang berbeda pada masing-masing pihak.
Hm... disini saya tidak akan membahas terlalu banyak tentang
penentuan awal bulan dalam kalender Qamariyah. Untuk itu kalian bisa melihat
pada blog atau web astronomi atau falakiyah lain. ( http://rukyatulhilal.org/visibilitas/indonesia/1433/ramadhan/ ).
Perbedaan awal puasa tahun ini sebenarnya telah diprediksi
sejak lama oleh para ahli. Dan saya pun tidak kaget karena sejak tahun lalu
sudah tahu kalau tahun ini akan ada perbedaan awal puasa. Disini saya hanya
ingin menyampaikan pendapat saya pribadi tentang 2 teori yang seakan tidak bisa
disatukan yang menjadi perbincangan selama penentuan awal Ramadhan.
Wujudul Hilal vs Imkanur Rukyat
Yah, kali ini karena kita membahas tentang perhitungan
astronomi, untuk sementara kita singkirkan dulu sisi observasinya alias
rukyatul hilal.
Yah, 2 metode yang telah disebutkan diatas adalah biang keladi
perbedaan yang ada di bumi Indonesia. Dua metode tersebut sebenarnya memiliki
persamaan, yakni sama-sama memakai hisab (perhitungan) sebagai acuannya. Yang
berbeda hanya ketentuannya saja. Wujudul hilal mematok asalkan hilal telah
mncul diatas ufuk (ketinggian lebih dari 0o), maka sudah terhitung
bulan baru, sedangkan imkanur rukyat yang mendasarkan hisab atas perkiraan
rukyatul hilal secara kasat mata membuat acuan ketinggian hilal 2o
sebagai dasar penentuan bulan baru. (Selengkapnya saya sarankan cari info
sendiri ya, http://rukyatulhilal.org/visibilitas/indonesia/1433/ramadhan/ )
Saya sendiri yang masih new bie di dunia astronomi amatir
lebih nyaman mengikuti hisab imkanur rukyat yang konon disebut sebagai jalan
tengah antara hisab dan rukyat. Hm... padahal permasalahan bukan lagi di hisab
atau rukyat, namun hisab dengan hisab juga, hehe. Yah, saya lebih mantap jika
penentuan awal bulan Hijriyah menggunakan sistem rukyatul hilal, yaitu
penentuan awal bulan berdasarkan penampakan hilal secara kasat mata baik dengan
mata telanjang ataupun menggunakan alat bantu misalnya teleskop. Memang dalil
tentang ini lebih implisit dibandingkan menggunakan acuan hisab dalam penentuan
awal bulan. Metode hisab wujudul hilal seakan bertentangan dengan metode
rukyatul hilal. Sering kali terjadi perbedaan karena hilal tidak nampak meski
konjungsi bulan telah terjadi. Wah, wah. Merepotkan sekali. Karena itu beberapa
menggunakan perkiraan dengan hisab juga dengan batasan 2o, yaitu
perkiraan batas penampakan hilal yang bisa dilihat secara rukyat (imkanur
rukyat). Pada akhirnya masalah ini tidak bisa ditemukan titik temunya hingga
kini selama ketentuan kedua metode ini tidak disepakati.
Namun masalah tidak berhenti sampai disitu. Meski lebih kuat
berdasarkan dalil, namun cara ini seakan hanya dibenarkan berdasarkan rukyatul
hilal lokal (mathla’ lokal). Nah bagaimana dengan mathla’ global?
Seringkali didapati hilal telah terlihat di Jazirah Arab
namun beberapa jam sebelumnya di Indonesia hilal belum dapat dirukyat. Ini
membuat perbedaan penentuan awal bulan terjadi antara Saudi Arabia dengan
Indonesia. Padahal Saudi Arabia menjadi rujukan bagi banyak negara, terutama
kebanyakan negara di Jazirah Arabia (berdasarkan penuturan teman saya dari
Palestina) yang seia sekata terhadap penentuan awal bulan. Nah lho, kenapa
Indonesia berbeda? Sebagian masyarakat mengecam pemerintah karena mengabaikan
persatuan umat Islam sedunia. Nah lho? Entahlah... saya tidak memiliki pendapat
khusus mengenai ini.
Namun saya memiliki alasan tersendiri kenapa pada akhirnya
tetap memilih mengamini hisab imkanur rukyat untuk penentuan awal Ramadhan
tahun ini. Alasan pertama telah saya sebutkan, saya lebih mantap dengan
konfirmasi observasi rukyatul hilal daripada sekedar perhitungan mutlak semata.
Yang membuat saya tidak yakin hanyalah mathla’ global. Hm... namun secara hisab
memang seharusnya hanya Amerika Latin saja lah yang mampu melihat hilal. Namun
pada kenyataannya ada beberapa negara di Timteng yang mengaku telah melihat
hilal. Hm... dan pada kenyataannya mayoritas negara muslim pun berpuasa sesuai
dengan ketentuan Saudi Arabia yang ternyata sesuai dengan tanggal yang
ditetapkan melalui perhitungan versi wujudul hilal. Hm... namun, saya pernah
bertanya kepada Prof. Thomas Djamaluddin, astronom dari LAPAN yang juga ikut
ambil andil dalam sidang isbath yang dilangsungkan pemerintah tempo lalu.
Beliau mengatakan usia hilal di barat lebih tua, tidak seharusnya kita yang di
timur mengacu kepada yang lebih barat, namun sebaliknya wilayah barat boleh
mengikuti area timur. Ah, entahlah, saya belum terlalu paham namun tetap
mengamininya. Karena itu, tahun ini saya masih saja mengikuti imkanur rukyat
yang ternyata juga diamini pemerintah melalui Menteri Agama (meski saya juga
masih mengamini mathla’ global).
Beberapa teman berdiskusi dengan saya mengenai ini. Beberapa
sekedar bertanya. Dan beberapa berencana merujuk keputusan saya. Huh, hanya
atas nama astronom amatir. Padahal ilmu saya masih comot sana comot sini. Belum
benar-benar bisa dipegang. Wallahu’alam bishawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar